Senin, 23 Februari 2015

Belajar dari “Segregasi” Bangunan di Surah Ash Shaff : 4


by : Rudyfillah El Karo.

Sahabat Syurgaku,..

Kita mungkin sering mendengar, mentaddaburi dan membaca tafsir surah Ash Shaff : 4, bahkan di Mimbar-mimbar jum’at dan di Pengajian-pengajian sering menjadi topic pembahasan. Mari coba kembali kita taddaburi ayat ini sekali lagi, namun dari sisi yang berbeda, sisi Akademis.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu “Bangunan” yang tersusun kokoh.” (Ash Shaff : 4).

Perantanyaan yang muncul di benak saya saat membaca tafsir ayat ini bukanlah pada dorongan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya untuk berjihad di jalan-Nya dan mengajarkan kepada mereka bagaimana yang seharusnya mereka lakukan, dan bahwa sepatutnya mereka berbaris secara rapi dalam jihad tanpa ada celah dalam barisan, dimana barisan mereka tersusun rapi dan tertib yang dengannya dicapai kesamaan antara para mujahid, saling bantu-membantu, membuat musuh gentar dan membuat semangat. Namun lebih pada kata “Bangunan” yang tertera pada ayat tersebut.

Mengapa harus bangunan?!! Ada apa dengan bangunan?!!

Bukankah ada besi yang memiliki struktur lebih Solid atau Intan Murni yang strukturnya seolah bisa menembus benda keras apapun??!!

Mari kita coba telaah lebih mendalam tentang bangunan. Secara Teknis Bangunan memiliki Komponen penyusun Beton untuk menahan Beban Tekan, Tulangan untuk menahan beban Tarik. Bangunan juga terdiri dari Pondasi, Struktur bawah, Struktur atas dan juga Atap. Bangunan juga punya Bagian structural untuk menahan beban dan bagian non structural yang didesain untuk menahan beban sendiri.
Seolah tidak ada yang special dari bangunan, krna semua penjelasan diatas standart, semua juga tahu, dan semua orang bisa menganalogikan. Misalkan dengan Analogi Pondasi adalah Syahadat, Tiangnya adalah Sholat, Tulangannya adalah Zakat dan Sedekah, Atapnya adalah Puasa dan Arsitekturnya adalah Berhaji. Kita bisa bebas mempresepsikan sesuai akal kita.

Namun Tahukah kita, bahwa Bangunan yang komponen utamanya adalah Beton tidak akan menjadi sesuatu yang kokoh jika terjadi Pemisahan antara Agregat Kasar (kerikil) dan Halus (pasir) atau dalam teknik sipil Disebut dengan Segregasi. Hal ini bisa karena kurangnya air pada pengadukan, komposisi campuran yang tidak merata (Istilah teknik Sipil : Gradasi kurang baik), atau penggunaan Alat yang tidak sesuai.

Lalu, apa hubungannya dengan penegakan Agama Allah seperti yang disebutkan dalam surah Ash Shaff : 4 diatas??!!

Sahabat Syurgaku,…

Sesungguhnya penegakan Agama Allah dimuka bumi tidaklah bisa dilakukan sendiri-sendiri, golongan per golongan, Harokah per harokah atau gerakan per gerakan. Penegakan Agama Allah haruslah disokong dari semua aspek kehidupab. Dalam dakwah tidak boleh ada Segregasi, pemisahan pergerakan berdasarkan golongan ataupun profesi, krna dakwah bukan hanya milik lulusan pendidikan Agama, namun juga milik kalangan profesionalisme. Dakwah bukan hanya milik gerakan tertentu, namun juga milik umat Islam seluruhnya.

Allah menyebutkan Bangunan kokoh karena bangunan kokoh tersusun merata dengan komposisi yang seimbang antara Batu ukuran besar, kecil, pasir, semen dan air. Agama Islam yang kokoh juga hanya bisa dicapai dengan begeraknya semua kalangan untuk menjaganya, baik kalangan dokter, Sipil, Hukum, Petani dll. Semua bergerak bersatu, satu kata dan satu tujuan menegakkan Islam dengan komposisi yang pas juga.  Tidak ada diskriminasi, hanya karena dia bukan dari Pendidikan Agama dia tidak boleh berdakwah dan memberi pandangan mengenai syariat. Krna dia dari kelompok berbeda, fatwanya sudah “pasti” salah.

Segregasi (Pemisahan) kelompok dalam Islam hanya akan membuat komponen-komponen penyusun dakwah ini tidak akan pernah mencapai barisan yang kokoh. Mari kita renungkan, berapa banyak umat Islam di dunia?? Berapa banyak kalangan profesinalisme dari umat Islam??, Berapa banya professor dan ilmuwan dari Ummat Islam??, berapa banyak Pergerakan untuk menegakkan kalimat Allah di Dunia?? Mungkin puluhan, Ratusan atau Ribuan??. Namun mengapa umat Islam masih dibantai dan kita terlihat bagai Buih di Lautan??

Sahabat Syurgaku,..

Dalam buku Majmu’atur rasail, Hasan Al Banna pernah mengatakan bahwa Perbedaan itu adalah keniscayaan, maka bukan saatnya kita berdebat dalam perbedaan. Hilangkan segregasi dalam upaya penegakan Agama Allah. Alangkah indahnya jika semua komponen dakwah ini bersatu padu, merata dan dengan komposisinya masing-masing.

Komposisi yang dimaksudkan disini adalah bahwa semua menegakkan Agama Allah di bidang keahliannya, tidak ada lagi ungkapan bahwa dakwah milik Ustadz, namun yang ada adalah dakwah milik kita bersama. Dengkan dukungan ilmu dari Ulama kita.

Mari kita mulai dari kelompok-kelompok kecil, komunitas-komunitas, yayasan lembaga yang tadinya hanya berlabelkan Islami tanpa pergerakan kita jadikan penuh dengan semangat penegakan syariat Allah. Komunitas profesional kita warnai agar menjadi sarana dakwah.

Ingatlah bahwa komunitas Islami, kelompok Islami dan Lembaga Islami itu bukanlah lembaga ceremonial saja, yaitu membuat acara kajian mingguan, bulanan, tahunan saja. Namun harus punya konsep dan tujuan yang jelas dalam menegakkan Agama Allah.

Inilah yang disebut sebagai campuran yang padu dalam membentuk bangunan Islam, bahwa semua lini kehidupan tersusun dengan visi dan misi yang sama. Jika anda menjadi Semen (Ulama), jadilah penyatu dan berikan pemahaman Islam yang syamil. Jika anda adalah kerikil baik kecil atau Besar (Profesionalisme), maka jadikanlah kehidupan masyarakat Islami dari yang paling kecil sampai Besar. Jika anda menjadi Air (Akademisi), maka jadilah jembatan antara ‘ulama dan Profesionalisme dalam menyamakan presepsi.

Hingga nanti suatu saat bangunan Islam yang kokoh itu akan berdiri, jangan berhenti bergerak. Siapapun kita dan apapun Profesi kita, Tetaplah dalam visi menegakkan Agama Allah.

Wallahu’alam bishowab

== Rudyfillah el Karo ==

Minggu, 22 Februari 2015

Sabar Tanpa Batas: Balasan nan Indah…




Diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah Al Atsary dari kitab: ‘Aasyiqun fi Ghurfatil ‘amaliyyaat, oleh Syaikh Muh. Al Arify.


Abu Ibrahim bercerita:
Suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas… kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang…
Ternyata orang ini kedua tangannya buntung… matanya buta… dan sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat..
Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:
Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…
Aku heran mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh… ternyata sebagian besar panca inderanya tak berfungsi… kedua tangannya buntung… matanya buta… dan ia tidak memiliki apa-apa bagi dirinya…
Kuperhatikan kondisinya sambil mencari adakah ia memiliki anak yang mengurusinya? atau isteri yang menemaninya? ternyata tak ada seorang pun…
Aku beranjak mendekatinya, dan ia merasakan kehadiranku… ia lalu bertanya: “Siapa? siapa?”
“Assalaamu’alaikum… aku seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini” jawabku, “Tapi kamu sendiri siapa?” tanyaku.
“Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, dan kerabatmu? lanjutku.
“Aku seorang yang sakit… semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal…” jawabnya.
“Namun kudengar kau mengulang-ulang perkataan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…!! Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir, buntung kedua tangannya, dan sebatang kara…?!?” ucapku.
“Aku akan menceritakannya kepadamu… tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?” tanyanya.
“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu” kataku.
“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami dan berfikir…?
“Betul” jawabku. lalu katanya: “Berapa banyak orang yang gila?”
“Banyak juga” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia” jawabnya.
“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” tanyanya.
“Iya benar”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb” jawabnya.
“Betapa banyak orang yang tuli tak mendengar…?” katanya.
“Banyak juga…” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb”, katanya.
“Bukankah Allah memberiku lisan yang dengannya aku bisa berdzikir dan menjelaskan keinginanku?” tanyanya.
“Iya benar” jawabku. “Lantas berapa banyak orang yang bisu tidak bisa bicara?” tanyanya.
“Wah, banyak itu” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb” jawabnya.
“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya… mengharap pahala dari-Nya… dan bersabar atas musibahku?” tanyanya.
“Iya benar” jawabku. lalu katanya: “Padahal berapa banyak orang yang menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat…!!”
“Banyak sekali”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb” katanya.
Pak tua terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu… dan aku semakin takjub dengan  kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah…
Betapa banyak pesakitan selain beliau, yang musibahnya tidak sampai seperempat dari musibah beliau… mereka ada yang lumpuh, ada yang kehilangan penglihatan dan pendengaran, ada juga yang kehilangan organ tubuhnya… tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan menangis sejadi-jadinya… mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap balasan Allah atas musibah yang menimpa mereka, padahal pahala tersebut demikian besar…
Aku pun menyelami fikiranku makin jauh… hingga akhirnya khayalanku terputus saat pak tua mengatakan:
“Hmmm, bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang… maukah kamu mengabulkannya?”
“Iya.. apa permintaanmu?” kataku.
Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis.. ia berkata: “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang bocah berumur 14 tahun… dia lah yang memberiku makan dan minum, serta mewudhukan aku dan mengurusi segala keperluanku… sejak tadi malam ia keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja… dan kamu tahu sendiri keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak bisa mencarinya…”
Maka kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan mencarikan bocah tersebut untuknya…
Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana mencari bocah tersebut… aku tak tahu harus memulai dari arah mana…
Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si bocah, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah si pak tua.
Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yang mengerumuni sesuatu… maka segeralah terbetik di benakku bahwa burung tersebut tidak lah berkerumun kecuali pada bangkai, atau sisa makanan.
Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang.
Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si bocah telah tewas dengan badan terpotong-potong… rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk burung-burung…
Aku lebih sedih memikirkan nasib pak tua dari pada nasib si bocah…
Aku pun turun dari bukit… dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang mendalam…
Haruskah kutinggalkan pak Tua menghadapi nasibnya sendirian… ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?
Aku berjalan menujuk kemah pak Tua… aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana?
Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyu ‘alaihissalaam… maka kutemui pak Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan pak Tua yang malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya… ia mendahuluiku dengan bertanya: “Di mana si bocah?”
Namun kataku: “Jawablah terlebih dahulu… siapakah yang lebih dicintai Allah: engkau atau Ayyub ‘alaihissalaam?”
“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah” jawabnya.
“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.
“Tentu Ayyub…” jawabnya.
“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah karena aku mendapati anakmu telah tewas di lereng gunung… ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya…” jawabku.
Maka pak Tua pun tersedak-sedak seraya berkata: “Laa ilaaha illallaaah…” dan aku berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya… namun sedakannya semakin keras hingga aku mulai menalqinkan kalimat syahadat kepadanya… hingga akhirnya ia meninggal dunia.
Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di bawahnya… lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya…
Maka kudapati ada tiga orang yang mengendarai unta mereka… nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku…
Kukatakan: “Maukah kalian menerima pahala yang Allah giring kepada kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yang mengurusinya… maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”
“Iya..” jawab mereka.
Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat pak Tua untuk memindahkannya… namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak: “Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”
Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama mereka, akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh…
Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah…
Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah… ia mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna… ia berjalan-jalan di tanah yang hijau… maka aku bertanya kepadanya:
“Hai Abu Qilabah… apa yang menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”
Maka jawabnya: “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:
Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu… maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali
Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian.