Rabu, 15 Juni 2016

Merindukan Jalan Dakwah Itu Mengendalikan Hawa Nafsu

Merindukan Jalan Dakwah Itu Mengendalikan Hawa Nafsu

oleh: Umar Hidayat
Merindukan jalan dakwah. Meyakini sepenuhnya kehidupan seorang muslim haruslah mengendalikan hawa nafsunya agar nafsu al amaratu bissuu tidak mendominasi ketaatannya kepada Allah. Bagaimana pun manusia hidup membutuhkan hawa nafsu, tetapi bukan hawa nafsu yang liar. Bagaikan binatang buas yang kelaparan mencari mangsanya.
Sebenarnya ketaatan kepada Allah dan membiasakan diri dalam amal sholeh, termasuk menciptakan lingkungan dan berteman dengan orang-orang yang sholeh, menjadi leader yang mengendalikan hawa nafsu seseorang.
Merindukan jalan dakwah, tidak menyisakan sedikit pun ruang agar hawa nafsu bebas berkeliaran sekehendak sendiri. Membiarkannya berarti kita sedang mempertuhankan hawa nafsu dan mengukuhkan diri kita menjadi shohibnya syaithan. Inilah rahasianya mengapa setiap Allah menyebutkan ayat tentang keinginan hawa nafsu, maka selalu disandingkan dengan celaan terhadap hawa nafsu dan pelakunya.
Ibnu Abbas r.a. berkata: “Tidaklah Allah menyebut keinginan hawa nafsu di dalam Alquran, kecuali Dia mencelanya.” Ustadz Sayid Quthub dalam Fii Zhilaalil Qur'an menyebutkan: “Pilihan itu hanya ada dua, syariat Allah atau mengikuti keinginan orang-orang jahil. Tidak ada pilihan ketiga, jalan tengah antara syariat yang lurus dan keinginan hawa nafsu yang berubah.
Seseorang yang meninggalkan syariat Allah berarti telah berhukum kepada keinginan nafsunya. Segala sesuatu selain syariat Allah adalah keinginan hawa nafsu yang disukai oleh orang yang jahil.”
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 208)
Banyak penyakit hati yang lahir dari rahim hawa nafsu ini, dari yang paling berat hingga yang paling ringan. Dan sekecil apa pun penyakit hati jika di biarkan akan menjadi besar. Memperturutkan hawa nafsu hingga menuhankannya melupakan ketaatan kepada Allah, inilah syirik. Iri, dengki, hazad, riya, ghibah, namimah, sombong, dll.
Dan kita berharap terjauhkan dari segala bentuk keburukan yang ingin menggerogoti kesucian hati ini.

Bila Hati Tak Mampu lagi Dikendali

Bila Hati Tak Mampu lagi Dikendali

oleh: Ummi Rochma Yulika
Ibnu Abbas radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku mengajarkan kalimat kepadamu. Peliharalah Allah niscaya engkau akan mendapatkan-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah di waktu senang, niscaya Allah kan mengenalmu di waktu kesempitan.”
Bersabarlah dalam berdakwah. Berdoalah kala ditimpa musibah. Berdzikirlah meski hidup tak pernah susah. Ambil hikmah dari sebuah kisah. Hingga akhirnya bisa kita jadikan pelajaran kala kita melangkah menapaki dunia. Dunia itu begitu keras, hingga kita pun harus berjuang dan senantiasa berusaha untuk bijak dalam menyikapi segala keadaan.
Dunia tak mungkin kita hindari karena bagaimana pun kaki kita berpijak di atasnya. Berusaha dan terus berusaha menjadi kata kuncinya. Dan segalanya dimulai dari hati.
Bila hati tak bisa lagi untuk berkaca. Bila akal tak kuasa untuk mencerna. Bila kesadaran tak lagi menjelma. Hilanglah semua kebaikan. Musnahlah segala kebenaran. Suburlah segala kenistaan. Tegaklah semua kebatilan. Menanglah tipu daya setan.
Jadikanlah hati sebagai cermin. Hati yang terdalam selalu mampu melihat kebenaran. Orang biasa menyebut dengan istilah hati nurani. Jagalah hati biar dia selalu bersih sehingga mampu tuk kita bercermin. Imam Ghazali mengatakan bahwa qalbu ibarat cermin. Saat seseorang melakukan satu dosa atau maksiat tertutuplah hati dengan satu noktah hitam kan menutupi qalbunya. Dan tak kan lagi digunakan untuk bercermin.
Bila kotoran sudah melekat dan tak sesekali dibersihkan, kotoran itu semakin lama semakin pekat. Bila sudah pekat untuk mengembalikannya sangat sulit. Dan hati bila sudah demikian, bukan hanya dosa kecil dosa besar pun tak lagi terbaca. Bukan sekedar sunnah yang ditinggalkan yang wajib pun tak dikerjakan. Kan hilanglah cermin dalam diri kita hingga kita menjadi seorang pendosa. Jauh dari sifat taqwa. Yang ada hanya sifat tercela. Kelak kan jadi teman iblis penghuni neraka.
Na’udzubillahi min dzalik.

Bertemulah Belahan Jiwa

Bertemulah Belahan Jiwa

Oleh: Rochma Yulika


Sepinya jiwa tanpa teman bicara. Sunyinya hati tanpa ada yang mendampingi. Hidup sendiri tak mengikuti jejak nabi. Hampa jiwa terasa bila sudah sampai masanya. Hanya harap kan bertemu belahan jiwa.
Galau pun kadang terasa menyesakkan dada. Doa dan pinta selalu terpanjat pada yang Maha Kuasa.
Dan akhirnya takdir bicara untuk manusia. Saatnya pun tiba.
Bertemulah ia dengan pasangannya. Dengan akad nikah menjadi awal status barunya. Kini hati yang sepi sendiri ada yang menemani. Terikat janji suci tuk raih ridla Ilahi. Jadilah mereka pasangan suami istri. Membangun keluarga islami hingga akhirnya nanti.
Inilah jalan takdir manusia. Dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa, kemudian berumah tangga hingga akhirnya tiada. Bila sudah lahir ia akan jalani kehidupan.
Mati sebuah kepastian, namun pernikahan hanya sebuah harapan. Inilah manusia yang tak pernah tahu batas usianya.
Bersyukurlah bila Allah sudah menemukan pasangan kita. tinggal bagaimana kita mampu merawatnya.
Kelelahan diri yang tak terkira dalam menjalani kehidupan butuh peristirahatan. Beban hidup yang dijalani, aral melintang yang dihadapi tak sanggup bila hanya ditanggung sendiri. Ia butuh tempat untuk kembali. Dan tempat itulah yang kan mengembalikan energi yang hilang terbawa derasnya arus kehidupan.
Saling mengisi antara mereka hingga tak ada celah goda dunia yang menghampirinya. Inilah pelabuhan dalam kehidupan berkeluarga. Rumah yang nyaman tak harus berharga milyaran. Cukuplah rumah bersih dan nyaman. Yang di dalamnya banyak senyum yang tak lepas dari setiap pandangan. Saling berlomba untuk memperbanyak amalan. Surga dunia mereka dapatkan.
Insya Allah.....

HIJAB DALAM ISLAM


REKAPAN MATERI FIQH 01 AKHWAT RUMAH DAKWAH INDONESIA
Hari/Tanggal : Kamis,18 Juni 2015
Admin & Notulen : Asri & Rosa
Narasumber : Ustadzah Hayati Fashiha Lubis
Tema Kajian Fiqh : Hijab

MATERI

HIJAB DALAM ISLAM

Berhijab merupakan bentuk ketaatan akan perintah Allah SWT. di sisi lain jilbab memiliki banyak manfaat,yakni menjaga dari pandangan yang melecehkan. dan agar kita lebih dikenali sebagai serang wanita muslimah. Banyak orang berpikir jilbab adalah kebudayaan orang Arab,padahal jilbab adalah syariat yang tertera dalam Alqur’an.

Kisah Cinta Fathimah

Kitab Ar- Riyadh An-Nadhrah 2:183, Bab 4.

 Kisah Cinta Fathimah
(putri Nabi Muhammad Saw) dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhuma--


Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. sahabat karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya yang cantik. Semuanya mempesona hati ali.

Ali melihat bagaimana gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya (Rasulullah) pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Fatimah membersihkan luka ayahnya dengan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke
luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan menangis. 


Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!

Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menjawab.
Mengagumkan! Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal- awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu. ”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar.
Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya

pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.


Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ‘Ali bertugas menggantikan nabi untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn

Mas’ud..

Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali.
“Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.

Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. 
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.

Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat

kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka.

seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut. ‘Umar ibn Al Khaththab.

Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakar.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan ‘Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya.
‘Ali menyusul sang

Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam.


Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.Menanti dan bersembunyi.
‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
“Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!” ‘Umar adalah lelaki pemberani.
Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulullah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti 

Ia mengambil kesempatan 
Itulah keberanian 
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan


Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulullah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman- teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
“Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “
“Aku?”, tanyanya tak yakin.

“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan!
Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan.
Usianya telah berkepala dua sekarang.

“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”,
begitu nuraninya mengingatkan.

Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab.
“Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. 

Itu resiko.

Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. 

Ah, itu menyakitkan.

“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”

“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Dasar tolol! Tolol!”,
kata mereka,
“Eh, maaf kawan.. "Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua"! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. 
Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”

Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ‘Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. 

Dan disini, cinta tidak pernah meminta untuk menanti. 
Seperti ‘Ali. 
Ia mempersilakan. 
Atau mengambil kesempatan. 
Yang pertama adalah pengorbanan. 
Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi.
dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah).
Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu.

Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata,
“Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.
Kemudian Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib.
Maka saksikanlah...!!

sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai

perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”


Kemudian Rasulullah saw mendoakan keduanya:

“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”

Dalam riwayat lain nabi mendoakan fatimah dan ali.


Semoga Allah menghimpun yang terserak dari keduanya , memberkahi mereka berdua dan kira nya Allah meningkatkan kualitas , keturunan mereka menjadikannya pembuka pintu rahmat sumber ilmu dan hikmah , serta pemberi rasa aman bagi umat.