Kamis, 06 April 2017

Bila Galau Menanti Pujaan Hati

Bila Galau Menanti Pujaan HatiRudifillah el Karo


Kita mungkin sering melihat ketika saudari kita si A misalnya, bliau hari ini menerima khitbah dari ikhwan si B, akhwat si C sedang melakukan ta’aruf dengan seorang ikhwan, atau akhat si D yang sebentar lagi akan melangsungkan akad pernikahan dengan Ikhwan F. atau di suatu waktu ada saudari kita yang berkonsultasi masalah persiapan pernikahannya, atau ada akhwat lain yang konsultasi ingin memperbaiki diri menanti pujaan hati. Semua kisah diatas tentu membuat kita ikut bahagia melihatnya.
Namun bagaimana jika itu kita dengar sedang kita dalam kondisi Jomblo?? Atau itu kita dengar di kondisi kita juga rindu menikah?? Tentu ini sedikit banyak akan menyesakkan dada, dan kadang membuat bulir-bulir bening mengalir dari mata kita. Sampai muncul pertanyaan “Ya Allahkapan ya giliranku merasakan kebahagiaan yang sama?”
Termotivasi untuk segera menikah (namun tidak berlebihan) adalah suatu anugerah yang sangat indah dari Allah Ta’ala. Menyadari bahwa pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah salah satu tanda kekuasaan Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Ruum:21)
Rasulullah juga bersabda :
Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim 2/161).

Berbesar hati dengan syari’at menikah dan tidak membencinya sebagai bentuk realisasi iman kita kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikan kita termasuk golongan yang berada di atas sunnahnya, serta motivasi untuk meraih berbagai pahala dalam rumah tangga, diperolehnya keturunan yang shalih dan mendo’akan orang tuanya, terwujudnya keluarga yang menegakkan syari’at Islam dan lain sebagainya menjadikan seseorang yang masih lajang berkeinginan untuk segera menikah.
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS. Ar-Ra'd : 38).


Dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Empat hal yang merupakan sunnah para rasul : [1] Hinna',[1] [2] berparfum, [3] siwak dan [4] menikah. (HR. At-Tirmizi 1080)

“Alhamdulillah Bahagia ya ..senangnya ya sudah dipinang, senangnya proses menuju pernikahannya demikian mudah” mungkin kalimat itu yang sering kita sapaikan kepada saudari kita yang hendak menikah. Namun bagaimana keadaannya mereka  yang tidak kunjung menikah??, dan mereka yang pikirannya selalu disibukkan dengan hal tersebut justru dikhawatirkan menjadikan hati malah jenuh dan  menjadi kegalauan.
Ya Allah kenapa ya…kok belum ada juga jodoh yang datang, padahal teman-teman sebaya, bahkan yang usianya lebih muda telah merasakan indahnya pernikahan…hingga mencapai kadar galau yang berlebihan, iri terhadap orang lain, putus asa dan bersempit hati, maka sudah barang tentu hal tersebut mengancam kesehatan jiwa dan agama seseorang.
Iri terhadap orang lain merupakan suatu hal yang dilarang dalam Islam, kecuali terhadap dua hal sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 “Tidak ada iri kecuali untuk dua jenis manusia: Seorang yang Allah berikan kepadanya Al Qur-an (hafal Al Qur-an), membacanya ketika shalat di waktu malam dan di waktu siang, dan yang kedua adalah seorang yang Allah berikan padanya harta yang melimpah, lalu dia membelanjakannya dalam ketaatan baik di waktu malam maupun di waktu siang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Iri di sini maksudnya adalah ghibthah, yaitu berangan-angan agar dapat semisal dengan orang lain tanpa berharap hilangnya nikmat itu dari diri orang tersebut.
Sebagaimana diceritakan oleh Sufyan bin Uyainah-seorang ahli hadits, tentang dua orang saudaranya, Muhammad dan ‘Imran. Saudaranya yang bernama Muhammad ingin menikahi wanita yang tinggi martabatnya karena motivasi supaya dirinya dapat meraih martabat yang tinggi, namun justru Allah berikan kehinaan bagi dirinya. Sedangkan saudaranya yang bernama ‘Imran ingin menikahi wanita kaya karena motivasi harta wanita tersebut, maka akhirnya Allah pun menimpakan musibah padanya. Mertuanya merebut semua hartanya tanpa menyisakan sedikitpun untuknya.

Apakah kita mau merasakan betapa pahitnya nasib kedua saudara ibnu Uyainah ini? Adapun jika niat menikah itu memang baik, maka semoga ghibthah tersebut dapat menjadi motivasi untuk menempuh sebab-sebab syar’i dalam rangka menggapai pernikahan yang Allah ridhai. Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya At- Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an berkata, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa,
إنما يعطى الرجل على قدر نيته
“Seseorang diberi sesuai kualitas niatnya.”
Dengan meluruskan niat kita untuk menikah tentu akan membuat kita senantiasa memperhatikan rambu-rambu syari’at demi terwujudnya keridhaan Allah Ta’ala, meski Allah mentaqdirkan kita untuk tidak segera menikah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti kita dalam sabdanya:
انظروا إلى من أسفل منكم، ولا تنظروا إلى من هو فوقكم، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم
“Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian, dan jangan melihat orang di atas kalian, maka itu lebih layak untuk kalian agar tidak memandang hina nikmat yang Allah anugerahkan kepada kalian.” (HR. Muslim)
Kalaulah hingga saat ini kita masih menanti jodoh, maka kita lihat saudari-saudari kita yang jauh lebih dahulu menanti jodoh namun hingga saat ini masih belum datang juga jodoh yang dinanti. Kalaupun kita pernah gagal menjalani proses di awal perjodohan, maka ada di antara saudari kita yang gagal di ambang pintu pernikahan. Kalau ternyata kita termasuk yang merasakan pahitnya kegagalan di ambang pintu pernikahan, maka bukankah kita masih merasakan betapa Allah membukakan banyak pintu-pintu kebaikan lainnya untuk diri kita? Yakinlah bahwasanya pilihan Allah itu lebih baik dari pada pilihan kita.
Oleh karena itu janganlah sempit hati dan putus asa meliputi hari-hari kita sampai-sampai kita lupa akan kewajiban kita sebagai seorang hamba, kewajiban kita terhadap diri kita sendiri, demikian juga kewajiban kita sebagai seorang anak, atau kewajiban sebagai mahasiswa, bahkan kewajiban sebagai penghuni kos misalnya. Padahal dengan menunaikan kewajiban, sekalipun dalam perkara dunia jika kita niatkan untuk meraih ridha Allah maka akan membuahkan pahala, sebagaimana perkataan sebagian ahli ilmu, “Ibadahnya orang yang lalai itu bernilai rutinitas, dan rutinitas orang yang berjaga (dari lalai) itu bernilai ibadah.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar Ats-Tsuraya, th. 1424 H. hal. 13)
Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk bersungguh-sungguh menyelesaikan tugas demi tugas,
 “Maka apabila kamu telah selesai (dalam suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Rabb-mu lah hendaknya kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah: 7-8).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan ayat ini, “Maka jadikanlah kehidupanmu kehidupan yang penuh dengan kesungguhan, apabila engkau telah selesai mengerjakan urusan dunia, maka kerjakanlah urusan akhirat, dan jika engkau telah selesai mengerjakan urusan akhirat, maka kerjakanlah urusan dunia. Jadilah engkau bersama Allah ‘Azza wa Jalla sebelum mengerjakan tugas dengan memohon pertolongan-Nya, dan setelah mengerjakan tugas dengan mengharapkan pahala-Nya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cet. III, Dar Ats-Tsuraya, th. 1424 H. hal.255)
Adakalanya kita dapat menepis seluruh kegalauan hati, namun terkadang juga masih ada keresahan-keresahan yang menyibukkan pikiran kita. Mungkin hal itu terjadi karena masih adanya waktu luang yang tidak kita manfaatkan. Jiwa manusia memang senantiasa dalam salah satu dari dua keadaan, bisa jadi jiwa ini disibukkan dengan ketaatan kepada Allah, namun jika tidak, maka jiwa itu justru yang akan menyibukkan pemiliknya. (Nashihaty Linnisaa, Ummu ‘Abdillah binti Syaikh Muqbil bin Hady Al-Waadi’i, cet. I, Dar Al-Atsar, th. 1426 H. hal. 20)
Terakhir mari kita renungkan perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah ketika menafsirkan ayat “alam nasyrah laka shadrak” (Al-Insyirah: 1),
“Manusia yang Allah lapangkan dadanya untuk menerima hukum kauni, akan engkau dapati dia ridha terhadap ketentuan dan taqdir-Nya, dan merasa tenang terhadap hal itu. Dia berkata: ‘Aku hanyalah seorang hamba, dan Allah adalah Rabb yang melakukan apa yang dikehendaki-Nya, orang yang berada dalam kondisi seperti ini akan senantiasa dalam kebahagiaan, tidak sedih dan berduka, dia merasa sakit namun tidak sampai menanggung kesedihan dan duka cita, dan untuk hal yang demikian telah datang hadits shahih bahwasanya Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، وَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، وَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin, sesungguhnya seluruh perkaranya itu baik, tidak ada yang mendapati keadaan seperti itu kecuali bagi seorang mukmin, apabila keburukan menimpananya, dia pun bersabar maka itu menjadi kebaikan baginya, dan apabila kebahagiaan meliputinya, dia pun bersyukur maka itu menjadi kebaikan baginya.”” (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, hal.247)