Minggu, 21 Oktober 2018

Sabar dalam Rumah Tangga


Sabar dalam Rumah Tangga

by : Rudyfillah el Karo




Rumah tangga sakinah bukanlah yang terbebas dari ujian. Rumah tangga sakinah adalah yang mampu menghadapi ujian bersama seraya berpegang teguh pada syariat-Nya. Mereka bersama-sama saling memahami, memberi solusi dan menjadikan Al Qur'an sebagai landasan dalam menjalankan rumah tangganya.
Adakalanya ujian adalah sarana peningkatan kualitas keimanan seseorang. Misalnya, ketika seorang istri menemui hal yang tidak menyenangkan dari suaminya, jangan mudah untuk berpikir pisah atau cerai. Sebab, bisa jadi Itu pertanda lemahnya kesungguhan dalam menjaga keutuhan rumah tangga, harua ada rasa sabar dalam menghadapi masalah ini. Karena masuk syurga itu tidak mudah.

“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap Muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya,” (HR Bukhari).

Islam telah menetapkan syariat yang mengandung berbagai macam cara, pengarahan dan solusi bagi berbagai macam permasalahan dalam pernikahan, sehingga suami dan isteri bisa menikmati hidup bahagia bersama, dan masing-masing merasa tenang dan tenteram asal semua pihak mau bersabar satu sama lain serta merealisasikan ajaran Islam dengan benar.

*Perbedaan Itu Sunatullah*
Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, sering kita jumpai perbedaan antara suami istri yang berujung dengan pertikaian dan perceraian. Padahal jika kita pandai menyikapi masalah yang hadir di tengah-tengah keluarga insyaAllah tidak akan terjadi pertikaian apalagi sebuah perceraian.

Perbedaan dalam hubungan suami istri seolah menjadi sunatullah yang sulit untuk kita hindarkan, terutama perbedaan karakter dan kepribadian. Bila di antara anak bersaudara saja yang terlahir dari satu rahim dan tumbuh kembang dalam satu asuhan saja banyak terjadi perbedaan, maka sudah sewajarnya pasangan suami istri terjadi perbedaan. Maka jika kita tidak pandai menyikapi perbedaan dengan bijak dan penuh kesabaran cita-cita luhur saat mengikrarkan janji setia akan menguap tak berbekas.

Kita dalam keluarga haruslah saling memahami. Dengan mengedepankan hati, isnyaAlloh menjadi pintu pertama untuk memunculkan rasa saling menghargai dan terbangunnya kecocokan dengan pasangannya. Inilah sesungguhnya yang menjadi dasar kenyamanan dalam berumah tangga. Saling menghargai dan saling memahami. Karena dalam hidup ini tidaklah ada manusia yang sempurna. Tidaklah ada laki-laki bak superman maupun wanita bak wonderwoman yang tidak memiliki cela, kecuali junjungan kita Nabi Muhammad.

Rasululloh SAW telah memberikan resep bagi kita  dalam menyikapi perbedaan dalam mengarungi bahtera rumah tangga ini.

حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ حَدَّثَنِي عِمْرَانُ بْنُ أَبِي أَنَسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَر

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim dari Abdul Hamid bin Ja'far berkata; telah menceritakan kepadaku `Imran bin Anas dari Umar bin Al Hakam dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Janganlah suami yang beriman membenci istri yang mukminah karena jika ia tidak menyukai satu perangainya tentu ada perangai lain yang ia sukai.(H.R Imam Muslim).

*Sabar itu memaafkan dan mau meminta maaf*
Tingakatan tertinggi dari kesabaran adalah mau meminta maaf meski bukan kesalahannya, dan langsung memaafkan ketika dia merasa disakiti. Suami/istri merupakan partner hidup selama puluhan tahun kedepan. Itu artinya akan ada banyak sekali kesalahan yang akan terjadi diantara kesuanya. Jika mereka tidak memproduksi ucapan maaf yang banyak, maka bisa dipastikan tidak akan ada kenyamanan dalam menjalani rumah tangga.
Seorang wanita memiliki jalan pintas menuju syurga asalkan dia tidak berbuat maksiat dan selalu mencari ridho dari suaminya. Rasululloh SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam An Nasa'i :

الا اخبركم بنسائكم من أهل الجنة؟ الودود الولود، العؤود على زوجها، التى إذا أذت او أوذيت جاءت حتى تأخذ بيد زوجها ثم تقول: والله لا أذوق غمضا أو نوما حتى ترضى.( رواه النساء)

Artinya: "Maukah kalian aku beritahukan tentang istri-istri kalian yang termasuk ahli surga?" Yaitu mereka yang besar kasih sayangnya, subur (banyak anak), mudah minta maaf kepada suaminya, yang apabila bersalah atau disakiti dia segera mendatangi suaminya dan memegang tangannya seraya berkata:"Demi Alloh aku tidak akan memejamkan mata atau tidur sehingga engkau ridho (memaafkan)". (H.R An Nasa'i)

Mungkin akan terasa sangat berat, bahkan akan muncul pertanyaan-pertanyaan dari bisikan syithan, *Kok aku terus yang mengalah?* , *Sabar itu ada batasnya* , *Harusnya dia yang minta maaf* dll. Namun itulah sesuatu yang kewajiban kita. Diri kita harus selau berlatih dan berlatih untuk selalu mengalah dan mengalah. Mengalah bukan berarti kalah, namun dengan mengalah sesungguhnya itulah salah satu kemuliaan hati seorang istri yang ingin mendambakan surga sebagai bukti kesabarannya.

Kesabaran tidak akan hadir dalam hati kita secara tiba-tiba namun kesabaran bisa kita miliki dengan banyak berlatih dan belajar. Kesabaran itu bisa diperoleh dengan hal hal berikut :
1. Memperbanyak belajar syariat Islam, semakin kita memahami syariat maka semakin faham arti kesabaran.
2. Memperbanyak ibadah dan dzikir kepada Allah, dzikir selalu menenangkan pikiran, melunakkan hati yang keras, dan melapangkan dada yang sempit. Dengan banyak berdzikir kita semakin kuat dalam menghadapi bisikan-bisikan syaithan yang ingin merusak rumah tangga.
3. Belajar berfikir tenang, kedewasaan akan membuat orang berfikir tenang dan tidak mudah panik. Dengansemakin dewasa pemikiran kita, maka semakin sabar menghadapi masalah rumah tangga.
4.  Ingat bahwa sesudah kesulitan ada kemudahan. Sebagaimana QS. Al-Insyirah ayat 5-6, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Teruslah memohon kepada Allah agar selalu dikaruniakan kesabaran dalam menghadapi satu persatu ujian dalam rumah tangga.

 رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

"Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir...

Wallahu'alam..

Rabu, 29 Agustus 2018

Sampaikan pada Calon Pendampingmu

Sampaikan pada Calon Pendampingmu

Rudyfillah el karo



Sahabat, sampaikan pada calon pendampingmu.
Komitmenku adalah membangun tangga-tangga syurga.
Membangun kamar-kamar berhias taqwa.
Menimbun amal-amal seorang perindu syurga.
Jika komitmenmu tidak sama denganku, maka menjauhlah.

Sahabat, katakan pada calon imammu.
Aku ingin punya anak-anak yang menjaminkan syurga.
Aku ingin pendamping yang mengingatkan pada Sang Pencipta.
Aku juga ingin seseorang yang bisa diajak berjuang bersama dalam menjaga imannya
JIka engkau tidak menginginkannya juga, maka jangan berharap padaku.

Sahabat, katakan pada calon istrimu...
Aku hanya ingin rahim yang siap mengandung anak yang taat pada Allah,..
Rahim yang selalu engkau lantunkan ayat suci..
Rahim yang dimiliki oleh wanita yang lidahnya basah oleh dzikir..
Jika engkau bukan demikian, maka palingkanlah wajahmu.. Aku inginkan pendamping yang beriman, bukan yang berharta..
Aku harapkan wajah yang selalu dihiasi wudhu, bukan yang berhias make up.
Aku inginkan lidah yang lembut membaca qur'an, bukan yang lembut berbicara pada lawan jenisnya.. Karena aku tahu, bahwa aku tak punya banyak hal untuk aku sampaikan pada Allah
Maka aku hanya berharap pada seseorang yang bisa kuajak bersama mencari cinta Allah. 📝Ustadz Rudifillah el karo
@rudianto04
🎨@DP_angg1 

Menikah Itu Tentang Memahami

Menikah Itu Tentang Memahami

Rudyfillah el Karo


Menikah itu, bukan tentang cinta yang menggebu-gebu.
Bukan tentang siapa yang membawamu melayang bersama rasa rindu.
Bukan juga tentang seberapa besar rasa sayang yang hendak engkau curahkan.
Tapi, menikah adalah tentang memahami, tentang berlapang dada dan tentang pengorbanan.

Cinta yang menggebu itu wahai diri, tak selamanya membawamu dalam nuansa yang indah jika engkau tak memahami bahwa pada hakikatnya cintamu akan membawamu ke syurga atau neraka.
Rindu juga tak akan memberimu keindahan jika engkau tak melandaskan rindumu dalam ketaatan pada Rabbmu.
Rasa sayang juga tak akan terus membesarkan hatimu jika engkau tak mengiringinya dengan doa-doa agar pernikahanmu penuh berkah.

Wahai diri...
Ingatlah, menikah adalah separuh dari episode kehidupanmu.
Saat memutuskan bersamanya, maka engkau telah meletakkan puluhan tahun hidupmu bersamanya.
Tanpa memahaminya, tanpa berlapang dada, dan tanpa pengorbanan terhadapnya, maka sama saja engkau menghancurkan separuh episode hidupmu.

Maka, pahamilah ia, pahami seperti apa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkanmu.
Berlapang dadalah padanya, pada kekurangannya agar engkau menikmati indahnya pernikahan.

Ingatlah, menikah bukan tentang cinta saja, namun juga tentang janji untuk bersama-sama kelak di jannah. 📝Ustadz Rudifillah el karo
@rudianto04
🎨@DP_angg1 

Memahami, Memecahkan Masalah

Memahami, Memecahkan Masalah

Rudyfillah el Karo


Pernahkah kita merasa kesal pada pasangan?
Ketika merasa dialah penyebab semua ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Ketika merasa dialah sumber kekacauan dalam rumah tangga.

Flashback kembali jauh ke belakang, jauh sebelum masalah membesar.
Ketika percikan masalah itu muncul, ketika ia masih seukuran titik debu.
Adakah upaya memadamkannya, atau membiarkannya membesar begitu saja?
Ingat, tidak ada masalah yang muncul secara tiba-tiba. Semua ada sumbernya.
Maka, mula-mula muhasabahlah diri, mengapa tidak memadamkannya ketika masih bisa padam dengan satu pelukan dan senyuman saja.

Menikah itu tentang kerelaan, tentang memahami dan tentang melayani.
Menyalahkan pasangan sama dengan menyulut api yang lebih besar, membuat dirinya mencari pembelaan. Membuat dirinya merasa diadili, membuat dirinya merasa terhakimi.
Hasilnya adalah babak baru dari masalah yang bisa saja berujung keretakan.

Sedangkan membawa pasangan bersama-sama introspeksi, sama dengan memadamkan api. Membangun ruang baru untuk diskusi, ruang baru untuk terus saling mencintai.
Hasilnya adalah babak baru keluarga harmonis penuh keromantisan.

Maka, saat ada percikan masalah, padamkan segera. Jangan menangkan egomu dengan menunggu pasangan memadamkannya.
Kita menikahi pasangan untuk menyempurnakan kekurangannya, konsekuensinya adalah menjaga keharmonisan rumah tangga.
Jaga agar sajak-sajak cinta tetap muncul setiap hari.
Jaga agar tatapan cinta setiap waktu terus bersemi.

📝Ustadz Rudifillah el karo
@rudianto04
🎨@DP_angg1

Minggu, 08 April 2018

Menjadi IStri yang Dirindukan Syurga

Menjadi IStri yang Dirindukan Syurga
disusun : Rudifillah el Karo



“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467).

“Wanita (istri) shalihah adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada dikarenakan Allah telah memelihara mereka.” (An-Nisa: 34).

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya, dan berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya. Maka engkau mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berbuatlah baik kepada wanita.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Karena itu, tidak selayaknya wanita yang menjadi perhiasan terbaik dunia, justru menjadi bahan bakar api neraka di akhirat kelak. Karena itulah seorang wanita *HARUS* mencari jalan agar dia dirindukan oleh syruga.

*Mencari Syurga dari Rumah Tangga*

Ketahuilah bahwa seorang suami adalah pemimpin di dalam rumah tangga, bagi isteri, juga bagi anak-anaknya, karena Allah telah menjadikannya sebagai pemimpin. Allah memberi keutamaan bagi laki-laki yang lebih besar daripada wanita, karena dialah yang berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Dan Allah Ta’ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya.” [An-Nisaa’ : 34]

Oleh karena itu, suami mempunyai hak atas isterinya yang harus senantiasa dipelihara, ditaati dan ditunaikan oleh isteri dengan baik yang dengan itu ia akan masuk Surga.

Masing-masing dari suami maupun isteri memiliki hak dan kewajiban, namun suami mempunyai kelebihan atas isterinya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan mereka (para wanita) memiliki hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang pantas. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Al-Baqarah : 228]

1. Ketaatan Isteri Kepada Suaminya
Setelah wali atau orang tua sang isteri menyerahkan kepada suaminya, maka kewajiban taat kepada suami menjadi hak tertinggi yang harus dipenuhi, setelah kewajiban taatnya kepada Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya.” [1]

Sujud merupakan bentuk ketundukan sehingga hadits tersebut di atas mengandung makna bahwa suami mendapatkan hak terbesar atas ketaatan isteri kepadanya. Sedangkan kata: “Seandainya aku boleh…,” menunjukkan bahwa sujud kepada manusia tidak boleh (dilarang) dan hukumnya haram.

Sang isteri harus taat kepada suaminya dalam hal-hal yang ma’ruf (mengandung kebaikan dalam agama). Misalnya ketika diajak untuk jima’ (bersetubuh), diperintahkan untuk shalat, berpuasa, shadaqah, mengenakan busana muslimah (jilbab yang syar’i), menghadiri majelis ilmu, dan bentuk-bentuk perintah lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at. Hal inilah yang justru akan mendatangkan Surga bagi dirinya, seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

“Apabila seorang isteri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya.”

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang sifat wanita penghuni Surga,

وَنِسَاؤُكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ: اَلْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا؛ اَلَّتِي إِذَا غَضِبَ جَائَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِيْ يَدِ زَوْجِهَا وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوْقُ غَمْضًا حَتَّى تَرْضَى

“Wanita-wanita kalian yang menjadi penghuni Surga adalah yang penuh kasih sayang, banyak anak, dan banyak kembali (setia) kepada suaminya yang apabila suaminya marah, ia mendatanginya dan meletakkan tangannya di atas tangan suaminya dan berkata, ‘Aku tidak dapat tidur nyenyak hingga engkau ridha.’” [3]

Dikisahkan pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang wanita yang datang dan mengadukan perlakuan suaminya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari Hushain bin Mihshan, bahwasanya saudara perempuan dari bapaknya (yaitu bibinya) pernah mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena ada suatu keperluan. Setelah ia menyelesaikan keperluannya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah bersuami?” Ia menjawab, “Sudah.” Beliau bertanya lagi, “Bagaimana sikapmu kepada suamimu?” Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi (haknya) kecuali yang aku tidak mampu mengerjakannya.”
Maka, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ.

“Perhatikanlah bagaimana hubunganmu dengannya karena suamimu (merupakan) Surgamu dan Nerakamu.”

Hadits ini menggambarkan perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk memperhatikan hak suami yang harus dipenuhi isterinya karena suami adalah Surga dan Neraka bagi isteri. Apabila isteri taat kepada suami, maka ia akan masuk Surga, tetapi jika ia mengabaikan hak suami, tidak taat kepada suami, maka dapat menyebabkan isteri terjatuh ke dalam jurang Neraka. Nasalullaahas salaamah wal ‘aafiyah.

Bahkan, dalam masalah berhubungan suami isteri pun, jika sang isteri menolak ajakan suaminya, maka ia akan dilaknat oleh Malaikat, sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ (فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا) لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur (untuk jima’/bersetubuh) dan si isteri menolaknya [sehingga (membuat) suaminya murka], maka si isteri akan dilaknat oleh Malaikat hingga (waktu) Shubuh.”



*Keutamaan Istri yang Taat Pada Suami*
Di antara keutamaan istri yang taat pada suami adalah akan dijamin masuk surga. Ini menunjukkan kewajiban besar istri pada suami adalah mentaati perintahnya.

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ

“Wanita mana saja yang meninggal dunia lantas suaminya ridha padanya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854. Abu Isa Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Yang dimaksudkan dengan hadits di atas adalah jika seorang wanita beriman itu meninggal dunia lantas ia benar-benar memperhatikan kewajiban terhadap suaminya sampai suami tersebut ridha dengannya, maka ia dijamin masuk surga. Bisa juga makna hadits tersebut adalah adanya pengampunan dosa atau Allah meridhainya. (Lihat Nuzhatul Muttaqin karya Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, hal. 149).

Begitu pula ada hadits dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471)

Dengan ketaatan seorang istri, maka akan langgeng dan terus harmonis hubungan kedua pasangan. Hal ini akan sangat membantu untuk kehidupan dunia dan akhirat.

Islam pun memuji istri yang taat pada suaminya. Bahkan istri yang taat suami itulah yang dianggap wanita terbaik.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251.)

Kamis, 06 April 2017

Bila Galau Menanti Pujaan Hati

Bila Galau Menanti Pujaan HatiRudifillah el Karo


Kita mungkin sering melihat ketika saudari kita si A misalnya, bliau hari ini menerima khitbah dari ikhwan si B, akhwat si C sedang melakukan ta’aruf dengan seorang ikhwan, atau akhat si D yang sebentar lagi akan melangsungkan akad pernikahan dengan Ikhwan F. atau di suatu waktu ada saudari kita yang berkonsultasi masalah persiapan pernikahannya, atau ada akhwat lain yang konsultasi ingin memperbaiki diri menanti pujaan hati. Semua kisah diatas tentu membuat kita ikut bahagia melihatnya.
Namun bagaimana jika itu kita dengar sedang kita dalam kondisi Jomblo?? Atau itu kita dengar di kondisi kita juga rindu menikah?? Tentu ini sedikit banyak akan menyesakkan dada, dan kadang membuat bulir-bulir bening mengalir dari mata kita. Sampai muncul pertanyaan “Ya Allahkapan ya giliranku merasakan kebahagiaan yang sama?”
Termotivasi untuk segera menikah (namun tidak berlebihan) adalah suatu anugerah yang sangat indah dari Allah Ta’ala. Menyadari bahwa pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah salah satu tanda kekuasaan Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Ruum:21)
Rasulullah juga bersabda :
Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim 2/161).

Berbesar hati dengan syari’at menikah dan tidak membencinya sebagai bentuk realisasi iman kita kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikan kita termasuk golongan yang berada di atas sunnahnya, serta motivasi untuk meraih berbagai pahala dalam rumah tangga, diperolehnya keturunan yang shalih dan mendo’akan orang tuanya, terwujudnya keluarga yang menegakkan syari’at Islam dan lain sebagainya menjadikan seseorang yang masih lajang berkeinginan untuk segera menikah.
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS. Ar-Ra'd : 38).


Dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Empat hal yang merupakan sunnah para rasul : [1] Hinna',[1] [2] berparfum, [3] siwak dan [4] menikah. (HR. At-Tirmizi 1080)

“Alhamdulillah Bahagia ya ..senangnya ya sudah dipinang, senangnya proses menuju pernikahannya demikian mudah” mungkin kalimat itu yang sering kita sapaikan kepada saudari kita yang hendak menikah. Namun bagaimana keadaannya mereka  yang tidak kunjung menikah??, dan mereka yang pikirannya selalu disibukkan dengan hal tersebut justru dikhawatirkan menjadikan hati malah jenuh dan  menjadi kegalauan.
Ya Allah kenapa ya…kok belum ada juga jodoh yang datang, padahal teman-teman sebaya, bahkan yang usianya lebih muda telah merasakan indahnya pernikahan…hingga mencapai kadar galau yang berlebihan, iri terhadap orang lain, putus asa dan bersempit hati, maka sudah barang tentu hal tersebut mengancam kesehatan jiwa dan agama seseorang.
Iri terhadap orang lain merupakan suatu hal yang dilarang dalam Islam, kecuali terhadap dua hal sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 “Tidak ada iri kecuali untuk dua jenis manusia: Seorang yang Allah berikan kepadanya Al Qur-an (hafal Al Qur-an), membacanya ketika shalat di waktu malam dan di waktu siang, dan yang kedua adalah seorang yang Allah berikan padanya harta yang melimpah, lalu dia membelanjakannya dalam ketaatan baik di waktu malam maupun di waktu siang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Iri di sini maksudnya adalah ghibthah, yaitu berangan-angan agar dapat semisal dengan orang lain tanpa berharap hilangnya nikmat itu dari diri orang tersebut.
Sebagaimana diceritakan oleh Sufyan bin Uyainah-seorang ahli hadits, tentang dua orang saudaranya, Muhammad dan ‘Imran. Saudaranya yang bernama Muhammad ingin menikahi wanita yang tinggi martabatnya karena motivasi supaya dirinya dapat meraih martabat yang tinggi, namun justru Allah berikan kehinaan bagi dirinya. Sedangkan saudaranya yang bernama ‘Imran ingin menikahi wanita kaya karena motivasi harta wanita tersebut, maka akhirnya Allah pun menimpakan musibah padanya. Mertuanya merebut semua hartanya tanpa menyisakan sedikitpun untuknya.

Apakah kita mau merasakan betapa pahitnya nasib kedua saudara ibnu Uyainah ini? Adapun jika niat menikah itu memang baik, maka semoga ghibthah tersebut dapat menjadi motivasi untuk menempuh sebab-sebab syar’i dalam rangka menggapai pernikahan yang Allah ridhai. Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya At- Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an berkata, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa,
إنما يعطى الرجل على قدر نيته
“Seseorang diberi sesuai kualitas niatnya.”
Dengan meluruskan niat kita untuk menikah tentu akan membuat kita senantiasa memperhatikan rambu-rambu syari’at demi terwujudnya keridhaan Allah Ta’ala, meski Allah mentaqdirkan kita untuk tidak segera menikah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti kita dalam sabdanya:
انظروا إلى من أسفل منكم، ولا تنظروا إلى من هو فوقكم، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم
“Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian, dan jangan melihat orang di atas kalian, maka itu lebih layak untuk kalian agar tidak memandang hina nikmat yang Allah anugerahkan kepada kalian.” (HR. Muslim)
Kalaulah hingga saat ini kita masih menanti jodoh, maka kita lihat saudari-saudari kita yang jauh lebih dahulu menanti jodoh namun hingga saat ini masih belum datang juga jodoh yang dinanti. Kalaupun kita pernah gagal menjalani proses di awal perjodohan, maka ada di antara saudari kita yang gagal di ambang pintu pernikahan. Kalau ternyata kita termasuk yang merasakan pahitnya kegagalan di ambang pintu pernikahan, maka bukankah kita masih merasakan betapa Allah membukakan banyak pintu-pintu kebaikan lainnya untuk diri kita? Yakinlah bahwasanya pilihan Allah itu lebih baik dari pada pilihan kita.
Oleh karena itu janganlah sempit hati dan putus asa meliputi hari-hari kita sampai-sampai kita lupa akan kewajiban kita sebagai seorang hamba, kewajiban kita terhadap diri kita sendiri, demikian juga kewajiban kita sebagai seorang anak, atau kewajiban sebagai mahasiswa, bahkan kewajiban sebagai penghuni kos misalnya. Padahal dengan menunaikan kewajiban, sekalipun dalam perkara dunia jika kita niatkan untuk meraih ridha Allah maka akan membuahkan pahala, sebagaimana perkataan sebagian ahli ilmu, “Ibadahnya orang yang lalai itu bernilai rutinitas, dan rutinitas orang yang berjaga (dari lalai) itu bernilai ibadah.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar Ats-Tsuraya, th. 1424 H. hal. 13)
Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk bersungguh-sungguh menyelesaikan tugas demi tugas,
 “Maka apabila kamu telah selesai (dalam suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Rabb-mu lah hendaknya kamu berharap.” (QS. Al-Insyirah: 7-8).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan ayat ini, “Maka jadikanlah kehidupanmu kehidupan yang penuh dengan kesungguhan, apabila engkau telah selesai mengerjakan urusan dunia, maka kerjakanlah urusan akhirat, dan jika engkau telah selesai mengerjakan urusan akhirat, maka kerjakanlah urusan dunia. Jadilah engkau bersama Allah ‘Azza wa Jalla sebelum mengerjakan tugas dengan memohon pertolongan-Nya, dan setelah mengerjakan tugas dengan mengharapkan pahala-Nya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cet. III, Dar Ats-Tsuraya, th. 1424 H. hal.255)
Adakalanya kita dapat menepis seluruh kegalauan hati, namun terkadang juga masih ada keresahan-keresahan yang menyibukkan pikiran kita. Mungkin hal itu terjadi karena masih adanya waktu luang yang tidak kita manfaatkan. Jiwa manusia memang senantiasa dalam salah satu dari dua keadaan, bisa jadi jiwa ini disibukkan dengan ketaatan kepada Allah, namun jika tidak, maka jiwa itu justru yang akan menyibukkan pemiliknya. (Nashihaty Linnisaa, Ummu ‘Abdillah binti Syaikh Muqbil bin Hady Al-Waadi’i, cet. I, Dar Al-Atsar, th. 1426 H. hal. 20)
Terakhir mari kita renungkan perkataan Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah ketika menafsirkan ayat “alam nasyrah laka shadrak” (Al-Insyirah: 1),
“Manusia yang Allah lapangkan dadanya untuk menerima hukum kauni, akan engkau dapati dia ridha terhadap ketentuan dan taqdir-Nya, dan merasa tenang terhadap hal itu. Dia berkata: ‘Aku hanyalah seorang hamba, dan Allah adalah Rabb yang melakukan apa yang dikehendaki-Nya, orang yang berada dalam kondisi seperti ini akan senantiasa dalam kebahagiaan, tidak sedih dan berduka, dia merasa sakit namun tidak sampai menanggung kesedihan dan duka cita, dan untuk hal yang demikian telah datang hadits shahih bahwasanya Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، وَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، وَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin, sesungguhnya seluruh perkaranya itu baik, tidak ada yang mendapati keadaan seperti itu kecuali bagi seorang mukmin, apabila keburukan menimpananya, dia pun bersabar maka itu menjadi kebaikan baginya, dan apabila kebahagiaan meliputinya, dia pun bersyukur maka itu menjadi kebaikan baginya.”” (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, hal.247)




Kamis, 19 Januari 2017

JANGAN TERTIPU DENGAN GELARMU, KITA BUKAN SIAPA-SIAPA.

JANGAN TERTIPU DENGAN GELARMU, KITA BUKAN SIAPA-SIAPA.



Nu'man bin Tsabit yang dikenal dengan sebutan Abu Hanifah, atau populer disebut IMAM HANAFI, pernah berpapasan dengan anak kecil yang berjalan mengenakan sepatu kayu (terompah kayu).
Sang Imam berkata: _"Hati-hati nak dengan sepatu kayumu itu, jangan sampai kau tergelincir."_
Bocah ini pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih,
dan bertanya..
"Bolehkah saya tahu namamu Tuan?" tanya si bocah.
"Nu'man namaku", Jawab sang Imam."
Jadi, Tuan lah yang selama ini terkenal dengan gelar Al-imam Al-a'dhom. (Imam Agung) itu..??" tanya si bocah.
"Bukan aku yang memberi gelar itu, masyarakat-lah yang berprasangka baik dan memberi gelar itu kepadaku."
Si bocah berkata lagi.."Wahai Imam, hati-hati dengan gelarmu. Jangan sampai tuan tergelincir ke neraka karena gelar itu...! Sepatu kayuku ini mungkin hanya menggelincirkanku di dunia.
Tapi gelarmu itu dapat menjerumuskanmu ke dalam api yang kekal, jika kesombongan dan keangkuhan menyertainya."
Ulama besar yang diikuti banyak umat Islam itupun tersungkur menangis....
Imam Abu Hanifah bersyukur. Siapa sangka, peringatan datang dari lidah seorang bocah.
Betapa banyak manusia tertipu karena jabatan,
tertipu karena kedudukan,
tertipu karena gelar
tertipu karena kemaqoman*
tertipu karena harta yang berlimpah,
tertipu karena status sosial.
Jangan sampai kita tergelincir... jadi angkuh dan sombong karenanya.
*PEPATAH MENGATAKAN:*
_"SEPASANG TANGAN YANG MENARIKMU KALA TERJATUH LEBIH HARUS KAU PERCAYAI_
_DARIPADA SERIBU TANGAN YANG MENYAMBUTMU KALA TIBA DI PUNCAK KESUKSESAN"._
Semoga bermanfaat..aamiinn...