Kamis, 27 Oktober 2016

Mencari Kedudukan yang Tinggi (AL Manzilatul ‘Ulya)

Mencari Kedudukan yang Tinggi (AL Manzilatul ‘Ulya)
 Ustadzah Rochma Yulika



๐ŸŒทKatakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.”
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. (Q.S. At-Taubah: 24).

๐Ÿ’ฆBeban kehidupan dunia yang kita hadapi, apapun bentuknya, jangan sampai membuat kita kehilangan kepekaan dan kesigapan memenuhi seruan dakwah dan jihad. Masalah-masalah yang menhampiri pun jangan membuat merasa enggan menapaki jalan kebaikan yang telah dicontohkan oleh para pendahulu kita. Mereka tak kenal lelah, mereka pantang menyerah, dan mereka tak pernah mudah berkeluh kesah.

๐Ÿ’ฆMaka kita patut bertanya dan mengevaluasi diri. Seberapa kuatkah hakikat kehidupan abadi di akhirat telah tertanam dalam hati sehingga kita berhak mendapatkan ri’ayah rabbaniyyah tersebut yang membuat ruhul istijabah menjadi karakter dalam diri kita?

๐ŸŒทSeberapa kuat hakikat ini mewarnai atau men-shibghah (QS 2:138) diri dan perilaku kita sehingga segala resiko duniawi dalam dakwah dan jihad fi sabililillah menjadi kecil di mata kita?

Tak mudah kita berkaca dari sejarah di masa lalu. Perjuangan para sahabat yang selalu sigap dalam menjalankan amanah dakwah dan jihad. Juga para salafusshalih yang senantiasa menghabiskan waktunya untuk berkarya demi agama ini.

Waktu demi waktu dijalani tanpa sebuah kesia-siaan. Usia mereka memanjang lantaran kiprah besarnya di jalan dakwah ini. Jasad mereka telah tiada namun kebaikan yang mereka renda akan ada hingga dunia tutup usia.

Kehidupan mereka menjadi amat berarti dan berharga karena mereka sigap menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya.

Kesigapan itu bukanlah suatu hal yang muncul begitu saja, melainkan adalah buah keimanan kepada Allah sebagai Pemberi dan Pencipta kehidupan, buah keimanan yang kokoh kepada hari akhir saat terwujudnya kehidupan dan kebahagiaan hakiki. Kesigapan itu lahir dari hati yang tidak lalai dari hakikat ini berkat taufiq dan ri’ayah rabbaniyah.

๐Ÿ’ฆOleh sebab itu, Allah SWT berfirman: “…dan ketahuilah bahwa Allah membentengi antara seseorang dengan hatinya, dan ketahuilah bahwa hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (di mahsyar).

๐ŸŒทDakwah dan jihad adalah dua kata yang selamanya harus ada dan terpatri dalam diri seorang Muslim yang menghendaki al-manzilah al-‘ulya (kedudukan tinggi) di sisi Allah SWT.

Setiap mukmin yang memahami dan menghayati hakikat kehidupan pasti akan menempuh jalan kebahagiaan abadi di sisi Allah SWT. Ia akan mendekat, berlari, dan terbang menuju keridhaan-Nya “fafirruu ilallaah” (Q.S. Adz-Dzaariyaat/51/50).

Dan setiap diri yang di dalam relung hatinya terhunjam keyakinan bahwa kematian itu kepastian yang cuma terjadi sekali, maka ia akan memilih seni kematian yang paling mulia di sisi Allah.

๐Ÿ’ฆImam Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah mengungkapkan bahwa umat yang dapat memilih seni kematian dan memahami bagaimana mencapai kematian yang mulia, maka pasti Allah berikan kepada mereka kemuliaan hidup di dunia dan kenikmatan abadi di akhirat (Risalah Jihad-Majmu’ah Rasail Al-Banna).

๐Ÿ’งAdakah jalan yang lebih mulia dan dapat membawa kita menuju puncak kebahagiaan selain jalan dakwah yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW dan yang beliau nyatakan menjadi jalan pengikutnya?

๐Ÿ’งDan adakah kematian yang lebih terpuji di sisi-Nya yang selalu didambakan oleh hamba-hamba yang beriman sejak dulu hingga hari kiamat selain mati dalam jihad fii sabiililllah?

TIDAK!!!

๐Ÿ’ฆJalan menuju surga hanya ditempuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam dakwah dan jihad.

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Q.S. Al-Anfaal: 24).

Dakwah dan jihad adalah dua kata yang selamanya harus ada dan terpatri dalam diri seorang Muslim yang menghendaki al-manzilah al-‘ulya (kedudukan tinggi) di sisi Allah SWT. Setiap mukmin yang memahami dan menghayati hakikat kehidupan pasti akan menempuh jalan kebahagiaan abadi di sisi Allah SWT. Ia akan mendekat, berlari, dan terbang menuju keridhaan-Nya “fafirruu ilallaah” (Q.S. Adz-Dzaariyaat/51/50). Dan setiap al-akh yang di dalam relung hatinya terhunjam keyakinan bahwa kematian itu kepastian yang cuma terjadi sekali, maka ia akan memilih seni kematian yang paling mulia di sisi Allah.
Imam Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah mengungkapkan bahwa umat yang dapat memilih seni kematian dan memahami bagaimana mencapai kematian yang mulia, maka pasti Allah berikan kepada mereka kemuliaan hidup di dunia dan kenikmatan abadi di akhirat (Risalah Jihad-Majmu’ah Rasail Al-Banna).

Akhil kariim, adakah jalan yang lebih mulia dan dapat membawa kita menuju puncak kebahagiaan selain jalan dakwah yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW dan yang beliau nyatakan menjadi jalan pengikutnya? Allahumma laa. Dan adakah kematian yang lebih terpuji di sisi-Nya yang selalu didambakan oleh hamba-hamba yang beriman sejak dulu hingga hari kiamat selain mati dalam jihad fii sabiililllah? Allahumma laa.

Apakah (orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (Q.S. At-Taubah: 19-20)

Ikhwati, tidak ada yang telah membuat usia para sahabat dan para ulama sekaliber Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad r.a. seolah terus memanjang hingga akhir zaman, kecuali dakwah yang mereka lakukan. Tidak ada sesuatu yang telah membuat lisan orang-orang mukmin menyebut dan mendoakan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan Khalid bin Walid r.a. atau tokoh-tokoh seperti Shalahuddin Al-Ayyubi, Thariq bin Ziyad, dan Al-Muzhaffar Quthuz selain jihad fii sabilillah. Kehidupan mereka menjadi amat berarti dan berharga karena mereka sigap menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya.

Namun akhil kariim, kesigapan itu bukanlah suatu hal yang muncul begitu saja, melainkan adalah buah keimanan kepada Allah sebagai Pemberi dan Pencipta kehidupan, buah keimanan yang kokoh kepada hari akhir saat terwujudnya kehidupan dan kebahagiaan hakiki. Kesigapan itu lahir dari hati yang tidak lalai dari hakikat ini berkat taufiq dan ri’ayah rabbaniyah. Oleh sebab itu, Allah SWT berfirman: “…dan ketahuilah bahwa Allah membentengi antara seseorang dengan hatinya, dan ketahuilah bahwa hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (di mahsyar).

Maka kita patut bertanya dan mengevaluasi diri. Seberapa kuatkah hakikat kehidupan abadi di akhirat telah tertanam dalam hati sehingga kita berhak mendapatkan ri’ayah rabbaniyyah tersebut yang membuat ruhul istijabah menjadi karakter dalam diri kita? Seberapa kuat hakikat ini mewarnai atau men-shibghah (QS 2:138) diri dan perilaku kita sehingga segala resiko duniawi dalam dakwah dan jihad fi sabililillah menjadi kecil di mata kita?

Kekuatan inilah yang menyebabkan Anas bin An-Nadhr r.a.--paman Anas bin Malik r.a.) memberikan respon spontan kepada Saad bin Muadz r.a. tatkala pasukan mukmin terdesak oleh musyrikin di perang Uhud dengan ucapannya: “Ya Saad! Surga…surga… aku mencium baunya di bawah bukit Uhud.” Kemudian beliau maju menjemput syahid hingga jenazahnya tidak dapat dikenali, kecuali oleh saudara perempuannya lewat jari tangannya (Muttafaq ‘alaih - Riyadhus shalihin, Kitab Al-Jihad, hadits No 1317).

Hal itu pula yang menjadikan Hanzhalah Sang ‘Ghasiil Al-malaikat’ segera merespon panggilan jihad, meski ia baru menikmati malam pengantin dan belum sempat mandi hadats besar. Perhatikan pula respon ‘Umair Ibn Al-Humam r.a. tatkala beliau mendengar sabda Rasulullah SAW, “Quumuu ilaa jannatin ‘ardhuhas-samaawaatu wal-ardh” (Bangkitlah menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi). Beliau mengucapkan kata “bakh-bakh” (ungkapan takjub terhadap kebaikan dan pahala) semata-mata karena ingin menjadi penghuni surga, lalu segera membuang beberapa biji kurma yang sedang dikunyahnya sambil berkata, “La-in ana hayiitu hattaa aakula tamaraatii haadzihii innahaa lahayaatun thawiilah” (Jika saya hidup sampai selesai memakan kurma ini, oh betapa lamanya (menanti surga)). Lalu beliau maju hingga gugur di perang Badar. (H.R. Muslim, dalam Riyadhus shalihin, Kitab Al-Jihad, hadits No 1314).
Atau seperti Imam Al-Banna yang berangkat menunaikan tugas dakwah meskipun anaknya terbaring sakit. Beliau meyakini bahwa setelah usahanya optimal untuk mengobati putranya, Allah SWT yang diharapkan ridha-Nya dalam menunaikan tugas dakwahnya, tidak pernah akan mengecewakan dirinya.

Akhil ‘aziiz, ruhul istijabah juga muncul karena pemahaman kita tentang qhadhaya ummah (fahmul qhadaya) dan tanggung jawab (ruhul mas’uliyyah) kita untuk mencari solusinya. Orang yang tidak mengetahui bahaya yang mengancam dirinya, sangat sulit kita harapkan responnya untuk menghindari apalagi menghilangkan bahaya tersebut. Imam Syahid Hasan Al-Banna bahkan menghendaki agar setiap al-akh memiliki kepekaan perasaan (daqiiq asy-syu’uur), bukan sekadar pengetahuan teoritis, tetapi harus menjadi kepekaan perasaan yang membuatnya tersentuh bahagia dengan kebaikan, dan terluka karena keburukan dan kebatilan. Bukankah dakwah adalah upaya kita menegakkan al-haq dan menghancurkan kebatilan?

Jodoh dan Kematian itu Pasti, Mengapa yang dinanti hanya Jodoh??

Jodoh dan Kematian itu Pasti, Mengapa yang dinanti hanya Jodoh??By: Rudifillah el Karo



Kematian dan Pernikahan adalah 2 hal yang menjadi Iradah Allah, yang waktu dan tempatnya sudah Allah tentukan. Namun intensitas manusia mengingat kedua hal tersebut, apalagi di usia2 Remaja atau produktif sangat berbeda jauh.
Kita berbicara tentang pernikahan jauh lebih sering dibandingkan berbicara kematian. Padahal kematian itu sesuatu yang Allah tidak buka sedikitpun petunjuk atau tanda2 kalau kita akan menghadapinya. Sedangkan pernikahan Allah biarkan kita terlibat dalam proses penentuan dan persiapannya?

Membayangkan pernikahan memang selalu indah, bertemu pujaan hati, kesendirian menjadi kebersamaan, yang Haram menjadi Halal, yang mubah menjadi Ibadah. Namun membayangkan kematian itu yang terlintas adalah bayangan kehilangan orang yg dicintai, menghadapi pertanyaan Malaikat, Siksa kubur dan lainnya. Padahal kalau difikir lebih dalam, seharunya seorang yg beriman lebih merindukan datangnya kematian daripada pernikahan karena harapannya mendapatkan syurga Allah.

Jodoh adalah sesuatu yang tidak pasti. Bahkan dalam kondisi tertentu wanita dibolehkan melajang. Allah berfirman,

ูˆَุงู„ْู‚َูˆَุงุนِุฏُ ู…ِู†َ ุงู„ู†ِّุณَุงุกِ ุงู„ู„َّุงุชِูŠ ู„َุง ูŠَุฑْุฌُูˆู†َ ู†ِูƒَุงุญًุง ูَู„َูŠْุณَ ุนَู„َูŠْู‡ِู†َّ ุฌُู†َุงุญٌ ุฃَู†ْ ูŠَุถَุนْู†َ ุซِูŠَุงุจَู‡ُู†َّ ุบَูŠْุฑَ ู…ُุชَุจَุฑِّุฌَุงุชٍ ุจِุฒِูŠู†َุฉٍ ูˆَุฃَู†ْ ูŠَุณْุชَุนْูِูْู†َ ุฎَูŠْุฑٌ ู„َู‡ُู†َّ

Dan para wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin menikah, tidaklah berdosa menanggalkan pakaian luar mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan aurat, dan menjaga kehormatan adalah lebih baik bagi mereka (QS. An-Nur: 60)

Kemudian, dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan daftar orang yang mati syahid, di luar medan jihad. Diantaranya,

ูˆَุงู„ْู…َุฑْุฃَุฉُ ุชَู…ُูˆุชُ ุจِุฌُู…ْุนٍ ุดَู‡َุงุฏَุฉٌ

”Wanita yang mati dalam keadaan jum’in, termasuk mati syahid.” (HR. Ibnu Majah 2803, dan dishahihkan al-Albani).

Diantara makna ’mati dalam keadaan jum’in’ mati dalam keadaan masih gadis. Sebagaimana keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar (w. 852 H) dalam Fathul Bari (6/43).

Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya al-Muhalla menegaskan bahwa menikah hukumnya wajib bagi para pemuda. Akan tetapi beliau mengecualikan kewajiban itu bagi wanita. beliau menegaskan bahwa wanita tidak wajib menikah. Dua dalil di atas, menjadi alasan beliau untuk mendukung pendapatnya. Setelah membahas hukum nikah bagi pemuda, Beliau menegaskan,

Sedangkan, Kematian tak bisa dihindari, tidak mungkin ada yang bisa lari darinya. Namun seribu sayang, sedikit yang mau mempersiapkan diri menghadapinya.

Kata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Aku tidaklah pernah melihat suatu yang yakin kecuali keyakinan akan kematian. Namun sangat disayangkan, sedikit yang mau mempersiapkan diri menghadapinya.” (Tafsir Al Qurthubi)


Tak mungkin seorang pun lari dari kematian.

ู‚ُู„ْ ุฅِู†َّ ุงู„ْู…َูˆْุชَ ุงู„َّุฐِูŠ ุชَูِุฑُّูˆู†َ ู…ِู†ْู‡ُ ูَุฅِู†َّู‡ُ ู…ُู„َุงู‚ِูŠูƒُู…ْ ุซُู…َّ ุชُุฑَุฏُّูˆู†َ ุฅِู„َู‰ ุนَุงู„ِู…ِ ุงู„ْุบَูŠْุจِ ูˆَุงู„ุดَّู‡َุงุฏَุฉِ ูَูŠُู†َุจِّุฆُูƒُู…ْ ุจِู…َุง ูƒُู†ْุชُู…ْ ุชَุนْู…َู„ُูˆู†َ

“Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Jumu’ah: 8).


ุฃَูŠْู†َู…َุง ุชَูƒُูˆู†ُูˆุง ูŠُุฏْุฑِูƒُูƒُู…ُ ุงู„ْู…َูˆْุชُ ูˆَู„َูˆْ ูƒُู†ْุชُู…ْ ูِูŠ ุจُุฑُูˆุฌٍ ู…ُุดَูŠَّุฏَุฉٍ

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An Nisa’: 78).


ูˆَู…َุง ุฌَุนَู„ْู†َุง ู„ِุจَุดَุฑٍ ู…ِู†ْ ู‚َุจْู„ِูƒَ ุงู„ْุฎُู„ْุฏَ

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad).” (QS. Al Anbiya’: 34).

ูƒُู„ُّ ู…َู†ْ ุนَู„َูŠْู‡َุง ูَุงู†ٍ (26) ูˆَูŠَุจْู‚َู‰ ูˆَุฌْู‡ُ ุฑَุจِّูƒَ ุฐُูˆ ุงู„ْุฌَู„ุงู„ِ ูˆَุงู„ุฅูƒْุฑَุงู…ِ (27)

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar Rahman: 26-27).

Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian

ูƒُู„ُّ ู†َูْุณٍ ุฐَุงุฆِู‚َุฉُ ุงู„ْู…َูˆْุชِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan ayat-ayat di atas adalah setiap orang pasti akan merasakan kematian. Tidak ada seseorang yang bisa selamat dari kematian, baik ia berusaha lari darinya ataukah tidak. Karena setiap orang sudah punya ajal yang pasti.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 163).

Jadilah mukmin yang cerdas …

ุนَู†ِ ุงุจْู†ِ ุนُู…َุฑَ ุฃَู†َّู‡ُ ู‚َุงู„َ : ูƒُู†ْุชُ ู…َุนَ ุฑَุณُูˆู„ِ ุงู„ู„َّู‡ِ -ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…- ูَุฌَุงุกَู‡ُ ุฑَุฌُู„ٌ ู…ِู†َ ุงู„ุฃَู†ْุตَุงุฑِ ูَุณَู„َّู…َ ุนَู„َู‰ ุงู„ู†َّุจِู‰ِّ -ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…- ุซُู…َّ ู‚َุงู„َ : ูŠَุง ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„َّู‡ِ ุฃَู‰ُّ ุงู„ْู…ُุคْู…ِู†ِูŠู†َ ุฃَูْุถَู„ُ ู‚َุงู„َ : « ุฃَุญْุณَู†ُู‡ُู…ْ ุฎُู„ُู‚ًุง ». ู‚َุงู„َ ูَุฃَู‰ُّ ุงู„ْู…ُุคْู…ِู†ِูŠู†َ ุฃَูƒْูŠَุณُ ู‚َุงู„َ : « ุฃَูƒْุซَุฑُู‡ُู…ْ ู„ِู„ْู…َูˆْุชِ ุฐِูƒْุฑًุง ูˆَุฃَุญْุณَู†ُู‡ُู…ْ ู„ِู…َุง ุจَุนْุฏَู‡ُ ุงุณْุชِุนْุฏَุงุฏًุง ุฃُูˆู„َุฆِูƒَ ุงู„ุฃَูƒْูŠَุงุณُ ».

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259).

Hanya Allah yang memberi taufik agar kelak kita meninggal seperti wafatnya para ulama. Tidak ada yang telah membuat usia para sahabat dan para ulama sekaliber Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad r.a. seolah terus memanjang hingga akhir zaman, kecuali dakwah yang mereka lakukan. Tidak ada sesuatu yang telah membuat lisan orang-orang mukmin menyebut dan mendoakan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan Khalid bin Walid r.a. atau tokoh-tokoh seperti Shalahuddin Al-Ayyubi, Thariq bin Ziyad, dan Al-Muzhaffar Quthuz selain jihad fii sabilillah. Kehidupan mereka menjadi amat berarti dan berharga karena mereka sigap menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya.

Mari persiapkan kematian kita sebaik mungkin dengan terus berada dalam barisan Dakwah...