Kamis, 27 Oktober 2016

Mencari Kedudukan yang Tinggi (AL Manzilatul ‘Ulya)

Mencari Kedudukan yang Tinggi (AL Manzilatul ‘Ulya)
 Ustadzah Rochma Yulika



๐ŸŒทKatakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.”
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. (Q.S. At-Taubah: 24).

๐Ÿ’ฆBeban kehidupan dunia yang kita hadapi, apapun bentuknya, jangan sampai membuat kita kehilangan kepekaan dan kesigapan memenuhi seruan dakwah dan jihad. Masalah-masalah yang menhampiri pun jangan membuat merasa enggan menapaki jalan kebaikan yang telah dicontohkan oleh para pendahulu kita. Mereka tak kenal lelah, mereka pantang menyerah, dan mereka tak pernah mudah berkeluh kesah.

๐Ÿ’ฆMaka kita patut bertanya dan mengevaluasi diri. Seberapa kuatkah hakikat kehidupan abadi di akhirat telah tertanam dalam hati sehingga kita berhak mendapatkan ri’ayah rabbaniyyah tersebut yang membuat ruhul istijabah menjadi karakter dalam diri kita?

๐ŸŒทSeberapa kuat hakikat ini mewarnai atau men-shibghah (QS 2:138) diri dan perilaku kita sehingga segala resiko duniawi dalam dakwah dan jihad fi sabililillah menjadi kecil di mata kita?

Tak mudah kita berkaca dari sejarah di masa lalu. Perjuangan para sahabat yang selalu sigap dalam menjalankan amanah dakwah dan jihad. Juga para salafusshalih yang senantiasa menghabiskan waktunya untuk berkarya demi agama ini.

Waktu demi waktu dijalani tanpa sebuah kesia-siaan. Usia mereka memanjang lantaran kiprah besarnya di jalan dakwah ini. Jasad mereka telah tiada namun kebaikan yang mereka renda akan ada hingga dunia tutup usia.

Kehidupan mereka menjadi amat berarti dan berharga karena mereka sigap menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya.

Kesigapan itu bukanlah suatu hal yang muncul begitu saja, melainkan adalah buah keimanan kepada Allah sebagai Pemberi dan Pencipta kehidupan, buah keimanan yang kokoh kepada hari akhir saat terwujudnya kehidupan dan kebahagiaan hakiki. Kesigapan itu lahir dari hati yang tidak lalai dari hakikat ini berkat taufiq dan ri’ayah rabbaniyah.

๐Ÿ’ฆOleh sebab itu, Allah SWT berfirman: “…dan ketahuilah bahwa Allah membentengi antara seseorang dengan hatinya, dan ketahuilah bahwa hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (di mahsyar).

๐ŸŒทDakwah dan jihad adalah dua kata yang selamanya harus ada dan terpatri dalam diri seorang Muslim yang menghendaki al-manzilah al-‘ulya (kedudukan tinggi) di sisi Allah SWT.

Setiap mukmin yang memahami dan menghayati hakikat kehidupan pasti akan menempuh jalan kebahagiaan abadi di sisi Allah SWT. Ia akan mendekat, berlari, dan terbang menuju keridhaan-Nya “fafirruu ilallaah” (Q.S. Adz-Dzaariyaat/51/50).

Dan setiap diri yang di dalam relung hatinya terhunjam keyakinan bahwa kematian itu kepastian yang cuma terjadi sekali, maka ia akan memilih seni kematian yang paling mulia di sisi Allah.

๐Ÿ’ฆImam Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah mengungkapkan bahwa umat yang dapat memilih seni kematian dan memahami bagaimana mencapai kematian yang mulia, maka pasti Allah berikan kepada mereka kemuliaan hidup di dunia dan kenikmatan abadi di akhirat (Risalah Jihad-Majmu’ah Rasail Al-Banna).

๐Ÿ’งAdakah jalan yang lebih mulia dan dapat membawa kita menuju puncak kebahagiaan selain jalan dakwah yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW dan yang beliau nyatakan menjadi jalan pengikutnya?

๐Ÿ’งDan adakah kematian yang lebih terpuji di sisi-Nya yang selalu didambakan oleh hamba-hamba yang beriman sejak dulu hingga hari kiamat selain mati dalam jihad fii sabiililllah?

TIDAK!!!

๐Ÿ’ฆJalan menuju surga hanya ditempuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam dakwah dan jihad.

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Q.S. Al-Anfaal: 24).

Dakwah dan jihad adalah dua kata yang selamanya harus ada dan terpatri dalam diri seorang Muslim yang menghendaki al-manzilah al-‘ulya (kedudukan tinggi) di sisi Allah SWT. Setiap mukmin yang memahami dan menghayati hakikat kehidupan pasti akan menempuh jalan kebahagiaan abadi di sisi Allah SWT. Ia akan mendekat, berlari, dan terbang menuju keridhaan-Nya “fafirruu ilallaah” (Q.S. Adz-Dzaariyaat/51/50). Dan setiap al-akh yang di dalam relung hatinya terhunjam keyakinan bahwa kematian itu kepastian yang cuma terjadi sekali, maka ia akan memilih seni kematian yang paling mulia di sisi Allah.
Imam Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah mengungkapkan bahwa umat yang dapat memilih seni kematian dan memahami bagaimana mencapai kematian yang mulia, maka pasti Allah berikan kepada mereka kemuliaan hidup di dunia dan kenikmatan abadi di akhirat (Risalah Jihad-Majmu’ah Rasail Al-Banna).

Akhil kariim, adakah jalan yang lebih mulia dan dapat membawa kita menuju puncak kebahagiaan selain jalan dakwah yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW dan yang beliau nyatakan menjadi jalan pengikutnya? Allahumma laa. Dan adakah kematian yang lebih terpuji di sisi-Nya yang selalu didambakan oleh hamba-hamba yang beriman sejak dulu hingga hari kiamat selain mati dalam jihad fii sabiililllah? Allahumma laa.

Apakah (orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (Q.S. At-Taubah: 19-20)

Ikhwati, tidak ada yang telah membuat usia para sahabat dan para ulama sekaliber Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad r.a. seolah terus memanjang hingga akhir zaman, kecuali dakwah yang mereka lakukan. Tidak ada sesuatu yang telah membuat lisan orang-orang mukmin menyebut dan mendoakan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan Khalid bin Walid r.a. atau tokoh-tokoh seperti Shalahuddin Al-Ayyubi, Thariq bin Ziyad, dan Al-Muzhaffar Quthuz selain jihad fii sabilillah. Kehidupan mereka menjadi amat berarti dan berharga karena mereka sigap menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya.

Namun akhil kariim, kesigapan itu bukanlah suatu hal yang muncul begitu saja, melainkan adalah buah keimanan kepada Allah sebagai Pemberi dan Pencipta kehidupan, buah keimanan yang kokoh kepada hari akhir saat terwujudnya kehidupan dan kebahagiaan hakiki. Kesigapan itu lahir dari hati yang tidak lalai dari hakikat ini berkat taufiq dan ri’ayah rabbaniyah. Oleh sebab itu, Allah SWT berfirman: “…dan ketahuilah bahwa Allah membentengi antara seseorang dengan hatinya, dan ketahuilah bahwa hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (di mahsyar).

Maka kita patut bertanya dan mengevaluasi diri. Seberapa kuatkah hakikat kehidupan abadi di akhirat telah tertanam dalam hati sehingga kita berhak mendapatkan ri’ayah rabbaniyyah tersebut yang membuat ruhul istijabah menjadi karakter dalam diri kita? Seberapa kuat hakikat ini mewarnai atau men-shibghah (QS 2:138) diri dan perilaku kita sehingga segala resiko duniawi dalam dakwah dan jihad fi sabililillah menjadi kecil di mata kita?

Kekuatan inilah yang menyebabkan Anas bin An-Nadhr r.a.--paman Anas bin Malik r.a.) memberikan respon spontan kepada Saad bin Muadz r.a. tatkala pasukan mukmin terdesak oleh musyrikin di perang Uhud dengan ucapannya: “Ya Saad! Surga…surga… aku mencium baunya di bawah bukit Uhud.” Kemudian beliau maju menjemput syahid hingga jenazahnya tidak dapat dikenali, kecuali oleh saudara perempuannya lewat jari tangannya (Muttafaq ‘alaih - Riyadhus shalihin, Kitab Al-Jihad, hadits No 1317).

Hal itu pula yang menjadikan Hanzhalah Sang ‘Ghasiil Al-malaikat’ segera merespon panggilan jihad, meski ia baru menikmati malam pengantin dan belum sempat mandi hadats besar. Perhatikan pula respon ‘Umair Ibn Al-Humam r.a. tatkala beliau mendengar sabda Rasulullah SAW, “Quumuu ilaa jannatin ‘ardhuhas-samaawaatu wal-ardh” (Bangkitlah menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi). Beliau mengucapkan kata “bakh-bakh” (ungkapan takjub terhadap kebaikan dan pahala) semata-mata karena ingin menjadi penghuni surga, lalu segera membuang beberapa biji kurma yang sedang dikunyahnya sambil berkata, “La-in ana hayiitu hattaa aakula tamaraatii haadzihii innahaa lahayaatun thawiilah” (Jika saya hidup sampai selesai memakan kurma ini, oh betapa lamanya (menanti surga)). Lalu beliau maju hingga gugur di perang Badar. (H.R. Muslim, dalam Riyadhus shalihin, Kitab Al-Jihad, hadits No 1314).
Atau seperti Imam Al-Banna yang berangkat menunaikan tugas dakwah meskipun anaknya terbaring sakit. Beliau meyakini bahwa setelah usahanya optimal untuk mengobati putranya, Allah SWT yang diharapkan ridha-Nya dalam menunaikan tugas dakwahnya, tidak pernah akan mengecewakan dirinya.

Akhil ‘aziiz, ruhul istijabah juga muncul karena pemahaman kita tentang qhadhaya ummah (fahmul qhadaya) dan tanggung jawab (ruhul mas’uliyyah) kita untuk mencari solusinya. Orang yang tidak mengetahui bahaya yang mengancam dirinya, sangat sulit kita harapkan responnya untuk menghindari apalagi menghilangkan bahaya tersebut. Imam Syahid Hasan Al-Banna bahkan menghendaki agar setiap al-akh memiliki kepekaan perasaan (daqiiq asy-syu’uur), bukan sekadar pengetahuan teoritis, tetapi harus menjadi kepekaan perasaan yang membuatnya tersentuh bahagia dengan kebaikan, dan terluka karena keburukan dan kebatilan. Bukankah dakwah adalah upaya kita menegakkan al-haq dan menghancurkan kebatilan?

Jodoh dan Kematian itu Pasti, Mengapa yang dinanti hanya Jodoh??

Jodoh dan Kematian itu Pasti, Mengapa yang dinanti hanya Jodoh??By: Rudifillah el Karo



Kematian dan Pernikahan adalah 2 hal yang menjadi Iradah Allah, yang waktu dan tempatnya sudah Allah tentukan. Namun intensitas manusia mengingat kedua hal tersebut, apalagi di usia2 Remaja atau produktif sangat berbeda jauh.
Kita berbicara tentang pernikahan jauh lebih sering dibandingkan berbicara kematian. Padahal kematian itu sesuatu yang Allah tidak buka sedikitpun petunjuk atau tanda2 kalau kita akan menghadapinya. Sedangkan pernikahan Allah biarkan kita terlibat dalam proses penentuan dan persiapannya?

Membayangkan pernikahan memang selalu indah, bertemu pujaan hati, kesendirian menjadi kebersamaan, yang Haram menjadi Halal, yang mubah menjadi Ibadah. Namun membayangkan kematian itu yang terlintas adalah bayangan kehilangan orang yg dicintai, menghadapi pertanyaan Malaikat, Siksa kubur dan lainnya. Padahal kalau difikir lebih dalam, seharunya seorang yg beriman lebih merindukan datangnya kematian daripada pernikahan karena harapannya mendapatkan syurga Allah.

Jodoh adalah sesuatu yang tidak pasti. Bahkan dalam kondisi tertentu wanita dibolehkan melajang. Allah berfirman,

ูˆَุงู„ْู‚َูˆَุงุนِุฏُ ู…ِู†َ ุงู„ู†ِّุณَุงุกِ ุงู„ู„َّุงุชِูŠ ู„َุง ูŠَุฑْุฌُูˆู†َ ู†ِูƒَุงุญًุง ูَู„َูŠْุณَ ุนَู„َูŠْู‡ِู†َّ ุฌُู†َุงุญٌ ุฃَู†ْ ูŠَุถَุนْู†َ ุซِูŠَุงุจَู‡ُู†َّ ุบَูŠْุฑَ ู…ُุชَุจَุฑِّุฌَุงุชٍ ุจِุฒِูŠู†َุฉٍ ูˆَุฃَู†ْ ูŠَุณْุชَุนْูِูْู†َ ุฎَูŠْุฑٌ ู„َู‡ُู†َّ

Dan para wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin menikah, tidaklah berdosa menanggalkan pakaian luar mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan aurat, dan menjaga kehormatan adalah lebih baik bagi mereka (QS. An-Nur: 60)

Kemudian, dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan daftar orang yang mati syahid, di luar medan jihad. Diantaranya,

ูˆَุงู„ْู…َุฑْุฃَุฉُ ุชَู…ُูˆุชُ ุจِุฌُู…ْุนٍ ุดَู‡َุงุฏَุฉٌ

”Wanita yang mati dalam keadaan jum’in, termasuk mati syahid.” (HR. Ibnu Majah 2803, dan dishahihkan al-Albani).

Diantara makna ’mati dalam keadaan jum’in’ mati dalam keadaan masih gadis. Sebagaimana keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar (w. 852 H) dalam Fathul Bari (6/43).

Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya al-Muhalla menegaskan bahwa menikah hukumnya wajib bagi para pemuda. Akan tetapi beliau mengecualikan kewajiban itu bagi wanita. beliau menegaskan bahwa wanita tidak wajib menikah. Dua dalil di atas, menjadi alasan beliau untuk mendukung pendapatnya. Setelah membahas hukum nikah bagi pemuda, Beliau menegaskan,

Sedangkan, Kematian tak bisa dihindari, tidak mungkin ada yang bisa lari darinya. Namun seribu sayang, sedikit yang mau mempersiapkan diri menghadapinya.

Kata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Aku tidaklah pernah melihat suatu yang yakin kecuali keyakinan akan kematian. Namun sangat disayangkan, sedikit yang mau mempersiapkan diri menghadapinya.” (Tafsir Al Qurthubi)


Tak mungkin seorang pun lari dari kematian.

ู‚ُู„ْ ุฅِู†َّ ุงู„ْู…َูˆْุชَ ุงู„َّุฐِูŠ ุชَูِุฑُّูˆู†َ ู…ِู†ْู‡ُ ูَุฅِู†َّู‡ُ ู…ُู„َุงู‚ِูŠูƒُู…ْ ุซُู…َّ ุชُุฑَุฏُّูˆู†َ ุฅِู„َู‰ ุนَุงู„ِู…ِ ุงู„ْุบَูŠْุจِ ูˆَุงู„ุดَّู‡َุงุฏَุฉِ ูَูŠُู†َุจِّุฆُูƒُู…ْ ุจِู…َุง ูƒُู†ْุชُู…ْ ุชَุนْู…َู„ُูˆู†َ

“Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Jumu’ah: 8).


ุฃَูŠْู†َู…َุง ุชَูƒُูˆู†ُูˆุง ูŠُุฏْุฑِูƒُูƒُู…ُ ุงู„ْู…َูˆْุชُ ูˆَู„َูˆْ ูƒُู†ْุชُู…ْ ูِูŠ ุจُุฑُูˆุฌٍ ู…ُุดَูŠَّุฏَุฉٍ

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An Nisa’: 78).


ูˆَู…َุง ุฌَุนَู„ْู†َุง ู„ِุจَุดَุฑٍ ู…ِู†ْ ู‚َุจْู„ِูƒَ ุงู„ْุฎُู„ْุฏَ

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad).” (QS. Al Anbiya’: 34).

ูƒُู„ُّ ู…َู†ْ ุนَู„َูŠْู‡َุง ูَุงู†ٍ (26) ูˆَูŠَุจْู‚َู‰ ูˆَุฌْู‡ُ ุฑَุจِّูƒَ ุฐُูˆ ุงู„ْุฌَู„ุงู„ِ ูˆَุงู„ุฅูƒْุฑَุงู…ِ (27)

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar Rahman: 26-27).

Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian

ูƒُู„ُّ ู†َูْุณٍ ุฐَุงุฆِู‚َุฉُ ุงู„ْู…َูˆْุชِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan ayat-ayat di atas adalah setiap orang pasti akan merasakan kematian. Tidak ada seseorang yang bisa selamat dari kematian, baik ia berusaha lari darinya ataukah tidak. Karena setiap orang sudah punya ajal yang pasti.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 163).

Jadilah mukmin yang cerdas …

ุนَู†ِ ุงุจْู†ِ ุนُู…َุฑَ ุฃَู†َّู‡ُ ู‚َุงู„َ : ูƒُู†ْุชُ ู…َุนَ ุฑَุณُูˆู„ِ ุงู„ู„َّู‡ِ -ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…- ูَุฌَุงุกَู‡ُ ุฑَุฌُู„ٌ ู…ِู†َ ุงู„ุฃَู†ْุตَุงุฑِ ูَุณَู„َّู…َ ุนَู„َู‰ ุงู„ู†َّุจِู‰ِّ -ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…- ุซُู…َّ ู‚َุงู„َ : ูŠَุง ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„َّู‡ِ ุฃَู‰ُّ ุงู„ْู…ُุคْู…ِู†ِูŠู†َ ุฃَูْุถَู„ُ ู‚َุงู„َ : « ุฃَุญْุณَู†ُู‡ُู…ْ ุฎُู„ُู‚ًุง ». ู‚َุงู„َ ูَุฃَู‰ُّ ุงู„ْู…ُุคْู…ِู†ِูŠู†َ ุฃَูƒْูŠَุณُ ู‚َุงู„َ : « ุฃَูƒْุซَุฑُู‡ُู…ْ ู„ِู„ْู…َูˆْุชِ ุฐِูƒْุฑًุง ูˆَุฃَุญْุณَู†ُู‡ُู…ْ ู„ِู…َุง ุจَุนْุฏَู‡ُ ุงุณْุชِุนْุฏَุงุฏًุง ุฃُูˆู„َุฆِูƒَ ุงู„ุฃَูƒْูŠَุงุณُ ».

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259).

Hanya Allah yang memberi taufik agar kelak kita meninggal seperti wafatnya para ulama. Tidak ada yang telah membuat usia para sahabat dan para ulama sekaliber Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad r.a. seolah terus memanjang hingga akhir zaman, kecuali dakwah yang mereka lakukan. Tidak ada sesuatu yang telah membuat lisan orang-orang mukmin menyebut dan mendoakan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan Khalid bin Walid r.a. atau tokoh-tokoh seperti Shalahuddin Al-Ayyubi, Thariq bin Ziyad, dan Al-Muzhaffar Quthuz selain jihad fii sabilillah. Kehidupan mereka menjadi amat berarti dan berharga karena mereka sigap menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya.

Mari persiapkan kematian kita sebaik mungkin dengan terus berada dalam barisan Dakwah...

Rabu, 15 Juni 2016

Merindukan Jalan Dakwah Itu Mengendalikan Hawa Nafsu

Merindukan Jalan Dakwah Itu Mengendalikan Hawa Nafsu

oleh: Umar Hidayat
Merindukan jalan dakwah. Meyakini sepenuhnya kehidupan seorang muslim haruslah mengendalikan hawa nafsunya agar nafsu al amaratu bissuu tidak mendominasi ketaatannya kepada Allah. Bagaimana pun manusia hidup membutuhkan hawa nafsu, tetapi bukan hawa nafsu yang liar. Bagaikan binatang buas yang kelaparan mencari mangsanya.
Sebenarnya ketaatan kepada Allah dan membiasakan diri dalam amal sholeh, termasuk menciptakan lingkungan dan berteman dengan orang-orang yang sholeh, menjadi leader yang mengendalikan hawa nafsu seseorang.
Merindukan jalan dakwah, tidak menyisakan sedikit pun ruang agar hawa nafsu bebas berkeliaran sekehendak sendiri. Membiarkannya berarti kita sedang mempertuhankan hawa nafsu dan mengukuhkan diri kita menjadi shohibnya syaithan. Inilah rahasianya mengapa setiap Allah menyebutkan ayat tentang keinginan hawa nafsu, maka selalu disandingkan dengan celaan terhadap hawa nafsu dan pelakunya.
Ibnu Abbas r.a. berkata: “Tidaklah Allah menyebut keinginan hawa nafsu di dalam Alquran, kecuali Dia mencelanya.” Ustadz Sayid Quthub dalam Fii Zhilaalil Qur'an menyebutkan: “Pilihan itu hanya ada dua, syariat Allah atau mengikuti keinginan orang-orang jahil. Tidak ada pilihan ketiga, jalan tengah antara syariat yang lurus dan keinginan hawa nafsu yang berubah.
Seseorang yang meninggalkan syariat Allah berarti telah berhukum kepada keinginan nafsunya. Segala sesuatu selain syariat Allah adalah keinginan hawa nafsu yang disukai oleh orang yang jahil.”
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 208)
Banyak penyakit hati yang lahir dari rahim hawa nafsu ini, dari yang paling berat hingga yang paling ringan. Dan sekecil apa pun penyakit hati jika di biarkan akan menjadi besar. Memperturutkan hawa nafsu hingga menuhankannya melupakan ketaatan kepada Allah, inilah syirik. Iri, dengki, hazad, riya, ghibah, namimah, sombong, dll.
Dan kita berharap terjauhkan dari segala bentuk keburukan yang ingin menggerogoti kesucian hati ini.

Bila Hati Tak Mampu lagi Dikendali

Bila Hati Tak Mampu lagi Dikendali

oleh: Ummi Rochma Yulika
Ibnu Abbas radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku mengajarkan kalimat kepadamu. Peliharalah Allah niscaya engkau akan mendapatkan-Nya dihadapanmu. Kenalilah Allah di waktu senang, niscaya Allah kan mengenalmu di waktu kesempitan.”
Bersabarlah dalam berdakwah. Berdoalah kala ditimpa musibah. Berdzikirlah meski hidup tak pernah susah. Ambil hikmah dari sebuah kisah. Hingga akhirnya bisa kita jadikan pelajaran kala kita melangkah menapaki dunia. Dunia itu begitu keras, hingga kita pun harus berjuang dan senantiasa berusaha untuk bijak dalam menyikapi segala keadaan.
Dunia tak mungkin kita hindari karena bagaimana pun kaki kita berpijak di atasnya. Berusaha dan terus berusaha menjadi kata kuncinya. Dan segalanya dimulai dari hati.
Bila hati tak bisa lagi untuk berkaca. Bila akal tak kuasa untuk mencerna. Bila kesadaran tak lagi menjelma. Hilanglah semua kebaikan. Musnahlah segala kebenaran. Suburlah segala kenistaan. Tegaklah semua kebatilan. Menanglah tipu daya setan.
Jadikanlah hati sebagai cermin. Hati yang terdalam selalu mampu melihat kebenaran. Orang biasa menyebut dengan istilah hati nurani. Jagalah hati biar dia selalu bersih sehingga mampu tuk kita bercermin. Imam Ghazali mengatakan bahwa qalbu ibarat cermin. Saat seseorang melakukan satu dosa atau maksiat tertutuplah hati dengan satu noktah hitam kan menutupi qalbunya. Dan tak kan lagi digunakan untuk bercermin.
Bila kotoran sudah melekat dan tak sesekali dibersihkan, kotoran itu semakin lama semakin pekat. Bila sudah pekat untuk mengembalikannya sangat sulit. Dan hati bila sudah demikian, bukan hanya dosa kecil dosa besar pun tak lagi terbaca. Bukan sekedar sunnah yang ditinggalkan yang wajib pun tak dikerjakan. Kan hilanglah cermin dalam diri kita hingga kita menjadi seorang pendosa. Jauh dari sifat taqwa. Yang ada hanya sifat tercela. Kelak kan jadi teman iblis penghuni neraka.
Na’udzubillahi min dzalik.

Bertemulah Belahan Jiwa

Bertemulah Belahan Jiwa

Oleh: Rochma Yulika


Sepinya jiwa tanpa teman bicara. Sunyinya hati tanpa ada yang mendampingi. Hidup sendiri tak mengikuti jejak nabi. Hampa jiwa terasa bila sudah sampai masanya. Hanya harap kan bertemu belahan jiwa.
Galau pun kadang terasa menyesakkan dada. Doa dan pinta selalu terpanjat pada yang Maha Kuasa.
Dan akhirnya takdir bicara untuk manusia. Saatnya pun tiba.
Bertemulah ia dengan pasangannya. Dengan akad nikah menjadi awal status barunya. Kini hati yang sepi sendiri ada yang menemani. Terikat janji suci tuk raih ridla Ilahi. Jadilah mereka pasangan suami istri. Membangun keluarga islami hingga akhirnya nanti.
Inilah jalan takdir manusia. Dari lahir, anak-anak, remaja, dewasa, kemudian berumah tangga hingga akhirnya tiada. Bila sudah lahir ia akan jalani kehidupan.
Mati sebuah kepastian, namun pernikahan hanya sebuah harapan. Inilah manusia yang tak pernah tahu batas usianya.
Bersyukurlah bila Allah sudah menemukan pasangan kita. tinggal bagaimana kita mampu merawatnya.
Kelelahan diri yang tak terkira dalam menjalani kehidupan butuh peristirahatan. Beban hidup yang dijalani, aral melintang yang dihadapi tak sanggup bila hanya ditanggung sendiri. Ia butuh tempat untuk kembali. Dan tempat itulah yang kan mengembalikan energi yang hilang terbawa derasnya arus kehidupan.
Saling mengisi antara mereka hingga tak ada celah goda dunia yang menghampirinya. Inilah pelabuhan dalam kehidupan berkeluarga. Rumah yang nyaman tak harus berharga milyaran. Cukuplah rumah bersih dan nyaman. Yang di dalamnya banyak senyum yang tak lepas dari setiap pandangan. Saling berlomba untuk memperbanyak amalan. Surga dunia mereka dapatkan.
Insya Allah.....

HIJAB DALAM ISLAM


REKAPAN MATERI FIQH 01 AKHWAT RUMAH DAKWAH INDONESIA
Hari/Tanggal : Kamis,18 Juni 2015
Admin & Notulen : Asri & Rosa
Narasumber : Ustadzah Hayati Fashiha Lubis
Tema Kajian Fiqh : Hijab

MATERI

HIJAB DALAM ISLAM

Berhijab merupakan bentuk ketaatan akan perintah Allah SWT. di sisi lain jilbab memiliki banyak manfaat,yakni menjaga dari pandangan yang melecehkan. dan agar kita lebih dikenali sebagai serang wanita muslimah. Banyak orang berpikir jilbab adalah kebudayaan orang Arab,padahal jilbab adalah syariat yang tertera dalam Alqur’an.

Kisah Cinta Fathimah

Kitab Ar- Riyadh An-Nadhrah 2:183, Bab 4.

 Kisah Cinta Fathimah
(putri Nabi Muhammad Saw) dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhuma--


Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. sahabat karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya yang cantik. Semuanya mempesona hati ali.

Ali melihat bagaimana gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya (Rasulullah) pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Fatimah membersihkan luka ayahnya dengan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke
luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan menangis. 


Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!

Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menjawab.
Mengagumkan! Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal- awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu. ”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar.
Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya

pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.


Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ‘Ali bertugas menggantikan nabi untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn

Mas’ud..

Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali.
“Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.

Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. 
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.

Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat

kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka.

seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut. ‘Umar ibn Al Khaththab.

Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakar.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan ‘Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya.
‘Ali menyusul sang

Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam.


Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.Menanti dan bersembunyi.
‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
“Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!” ‘Umar adalah lelaki pemberani.
Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulullah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti 

Ia mengambil kesempatan 
Itulah keberanian 
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan


Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulullah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman- teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
“Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “
“Aku?”, tanyanya tak yakin.

“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan!
Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan.
Usianya telah berkepala dua sekarang.

“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”,
begitu nuraninya mengingatkan.

Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab.
“Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. 

Itu resiko.

Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. 

Ah, itu menyakitkan.

“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”

“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Dasar tolol! Tolol!”,
kata mereka,
“Eh, maaf kawan.. "Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua"! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. 
Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”

Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ‘Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. 

Dan disini, cinta tidak pernah meminta untuk menanti. 
Seperti ‘Ali. 
Ia mempersilakan. 
Atau mengambil kesempatan. 
Yang pertama adalah pengorbanan. 
Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi.
dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah).
Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu.

Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata,
“Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.
Kemudian Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib.
Maka saksikanlah...!!

sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai

perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”


Kemudian Rasulullah saw mendoakan keduanya:

“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”

Dalam riwayat lain nabi mendoakan fatimah dan ali.


Semoga Allah menghimpun yang terserak dari keduanya , memberkahi mereka berdua dan kira nya Allah meningkatkan kualitas , keturunan mereka menjadikannya pembuka pintu rahmat sumber ilmu dan hikmah , serta pemberi rasa aman bagi umat.

Senin, 04 April 2016

Kajian Salamatusshadr.

Notulensi Kajian Online (KOL)
AIHQ Advance - Dept. Kaderisasi PSDM ODOJ
=========================
๐Ÿ“† Hari, Tanggal : Ahad,  3 April 2016
⏰ Waktu : 19.30 - 21.00 wib
๐Ÿก Tempat : Room DPP Odoj
๐Ÿ‘ณ๐Ÿผ Muwajjih : Ustadz Rudifillah El Karo
✒Tema : Salamtusshodr
๐ŸŽค Moderator : Ustadz Sentot
๐Ÿ“ Notulen : Ukhti Deli
๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน


๐ŸŽค๐Ÿ‘ณ๐Ÿผ
  ุจِุณู…ِ ุงู„ู„ّู‡ِ ุงู„ุฑَّุญْู…َู†ِ ุงู„ุฑَّุญِูŠْู…
ุงู„ْุญَู…ْุฏَ ู„ِู„َّู‡ِ ู†َุญْู…َุฏُู‡ُ ูˆَู†َุณْุชَุนِูŠْู†ُู‡ُ ูˆَู†َุณْุชَุบْูِุฑُู‡ْ ูˆَู†َุณْุชَู‡ْุฏِูŠْู‡ِ ูˆَู†َุนُูˆุฐُ ุจِุงู„ู„ู‡ِ ู…ِู†ْ ุดُุฑُูˆْุฑِ ุฃَู†ْูُุณِู†َุง ูˆَู…ِู†ْ ุณَูŠِّุฆَุงุชِ ุฃَุนْู…َุงู„ِู†َุง، ู…َู†ْ ูŠَู‡ْุฏِู‡ِ ุงู„ู„ู‡ُ ูَู„ุงَ ู…ُุถِู„َّ ู„َู‡ُ ูˆَู…َู†ْ ูŠُุถْู„ِู„ْ ูَู„ุงَ ู‡َุงุฏِูŠَ ู„َู‡ُ. ุฃَุดْู‡َุฏُ ุฃَู†ْ ู„ุงَ ุฅِู„َู‡َ ุฅِู„ุงَّ ุงู„ู„ู‡ ูˆَุฃَุดْู‡َุฏُ ุฃَู†َّ ู…ُุญَู…َّุฏًุง ุนَุจْุฏُู‡ُ ูˆَุฑَุณُูˆْู„ُู‡ُ. ุงَู„ู„َّู‡ُู…َّ ุตَู„ِّ ูˆَุณَู„ِّู…ْ ูˆَุจَุงุฑِูƒْ ุนَู„َู‰ ู…ُุญَู…َّุฏٍ ูˆَุนَู„َู‰ ุขู„ِู‡ِ ูˆَุตَุญْุจِู‡ِ ูˆَู…َู†ِ ุงู‡ْุชَุฏَู‰ ุจِู‡ُุฏَุงู‡ُ ุฅِู„َู‰ ูŠَูˆْู…ِ ุงู„ْู‚ِูŠَุงู…َุฉِ.
Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan meminta pertolongan, pengampunan, dan petunjuk-ya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal  kita. Barang siapa mendapat dari petunjuk Allah maka tidak akan ada yang menyesatkannya, dan barang siapa yang sesat maka tidak ada pemberi petunjuknya baginya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Ya Allah, semoga doa dan keselamatan tercurah pada Muhammad dan keluarganya, dan sahabat dan siapa saja yang mendapat petunjuk hingga hari kiamat.
๐ŸŒฑ
Ikhwan fillah, hari ini kita akan coba mendiskusikan salamatusshadr.
Salamatusshadr adalah kondisi dimana seseorang berhasil meraih kemampuan pengendalikan diri dan keberhasilan menghidupkan kondisi ruhiyah. Atau kondisi ini sering disebut kondisi lapang dada. Jika kondisi ini tercapai, maka biaa disebut pemilik hati tersebut memiliki hati yg mulia. Dan orang yang paling lapang dadanya di Dunia adalah Rasulullah SAW. Bliau adalah teladan kita dalam menggapai salamatussadr.

๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ
Lapang dada merupakan karunia pemberian Allah Ta’ala, perhatikanlah doa dan permohonan Nabi Musa ‘alaihis salam tatkala Allah Ta’ala memerintahkannya untuk melasanakan tugas yang begitu berat; yaitu mendatngi Fir’aun yang sudah melampaui batas,
ุงุฐู‡ุจ ุฅู„ู‰ ูุฑุนูˆู† ุฅู†ู‡ ุทุบู‰
“Pergilah kamu kepada Fir’aun, karena dia telah berbuat melampui batas“. (QS. Thaha:24).
Suatu tugas yang sangat berat, dan besar, tatkala Allah Ta’ala perintahkan hal itu dia berkata,
ุฑุจ ุงุดุฑุญ ู„ูŠ ุตุฏุฑูŠ ูˆูŠุณุฑ ู„ูŠ ุฃู…ุฑูŠ
“Berkata Musa: “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku“. (QS. Thaha:25-26).
Dan tidak diragukan lagi bahwa lapangnya dada merupakan karunia Allah Ta’ala dan taufik dari-Nya, dengan mengusahakan sebab-sebabnya.
Meski tidak seberat tugas yang Allah bebankan pada Musa, namun semua kita memiliki kewajiban untuk berdakwah, kewajiban untuk menegakkan hukum Allah di Muka bumi, dan kewajiban untuk menyampaikan Risallah. Maka pantas pula lah kita memohon pada Allah kelapangan dada dalam menjalankan Amanah dari Allah.
Terlebih kita yg sudah mendapatkan amanah khusus dari Allah, seperti menjadi bagian dari pengurus Odoj misalnya, menghadapi berbagai jenis latar belakang keilmuan dan pemahaman. Maka tak ada jalan lain selain memiliki salamatussadr dalam pribadi kita masing2 dlm menjaga eksistensi lembaga yg kita bawa.
๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ
๐Ÿ’MEMAAFKAN DAN BERLAPANG DADA๐ŸŒบ
Memaafkan atas sebuah kezhaliman lebih baik daripada mendendam, dibawa sampai ke akhirat.
Memaafkan seseorang yang pernah berbuat kezhaliman kepada kita, apapun bentuk kezhalimannya, adalah merupakan syariat Islam dan sesuatu yang diperintahkan di dalam Al Quran yan Mulia serta dicontohkan di dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam yang agung.
Memang berat…tapi ganjaran pahalanya juga sangat besar, yaitu diampuni Allah Ta'ala dosa-dosanya.
Mari kita perhatikan ayat dan hadits mulia berikut:
{ ูˆَู„َุง ูŠَุฃْุชَู„ِ ุฃُูˆู„ُูˆ ุงู„ْูَุถْู„ِ ู…ِู†ْูƒُู…ْ ูˆَุงู„ุณَّุนَุฉِ ุฃَู†ْ ูŠُุคْุชُูˆุง ุฃُูˆู„ِูŠ ุงู„ْู‚ُุฑْุจَู‰ ูˆَุงู„ْู…َุณَุงูƒِูŠู†َ ูˆَุงู„ْู…ُู‡َุงุฌِุฑِูŠู†َ ูِูŠ ุณَุจِูŠู„ِ ุงู„ู„َّู‡ِ ูˆَู„ْูŠَุนْูُูˆุง ูˆَู„ْูŠَุตْูَุญُูˆุง ุฃَู„َุง ุชُุญِุจُّูˆู†َ ุฃَู†ْ ูŠَุบْูِุฑَ ุงู„ู„َّู‡ُ ู„َูƒُู…ْ ูˆَุงู„ู„َّู‡ُ ุบَูُูˆุฑٌ ุฑَุญِูŠู…ٌ} [ุงู„ู†ูˆุฑ: 22]
Artinya: "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". QS. An Nur: 22.
Ayat ini diturunkan dalam menceritakan kisah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu, yang telah bersumpah untuk tidak lagi membiayai dan menafkahi Misthah bin Utsatsah radhiyallahu 'anhu, karena Misthah radhiyallahu 'anhu termasuk orang yang mengatakan berita dusta tentang Aisyah radhiyallahu 'anha.
๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ
Dan ketika Allah Ta'ala telah menurunkan ayat yang menjelaskan tentang keterlepasan Aisyahradhiyallahu 'anha dari segala tuduhan yang telah dibuat-buat kaum munafik tersebut, kemudian keadaan kaum muslim menjadi tenang kembali, Allah Ta'ala memberikan taubat-Nya kepada kaum beriman yang ikut berkata dalam berita ini, dan didirikan pidana atas yang berhak mendapatkan hukuman atas perbuatannya.
Maka Allah dengan kemuliaan dan kemurahan-Nya, mengajak Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhuuntuk memaafkan Misthah radhiyallahu 'anhu, yang juga merupakan anak bibi beliau, seorang miskin yang tidak mempunyai harta kecuali hanya dari pemberian Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhusaja, dan  Misthah radhiyallahu 'anhu termasuk dari kaum Muhajirin serta telah diterima taubatnya oleh Allah Ta'ala, apalagi Misthah radhiyallahu 'anhu sudah mendapatkan hukuman pidana atas perbuatannya tersebut.
๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ
Lalu apa sikap Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu akhirnya, mari perhatikan hadits berikut:
ุฃَู†َّ ุนَุงุฆِุดَุฉَ - ุฑุถู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ุง - ุฒَูˆْุฌَ ุงู„ู†َّุจِู‰ِّ - ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… – ู‚َุงู„َุชْ: "... ูَู„َู…َّุง ุฃَู†ْุฒَู„َ ุงู„ู„َّู‡ُ ู‡َุฐَุง ูِู‰ ุจَุฑَุงุกَุชِู‰ ู‚َุงู„َ ุฃَุจُูˆ ุจَูƒْุฑٍ ุงู„ุตِّุฏِّูŠู‚ُ - ุฑุถู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ - ูˆَูƒَุงู†َ ูŠُู†ْูِู‚ُ ุนَู„َู‰ ู…ِุณْุทَุญِ ุจْู†ِ ุฃُุซَุงุซَุฉَ ู„ِู‚َุฑَุงุจَุชِู‡ِ ู…ِู†ْู‡ُ ، ูˆَูَู‚ْุฑِู‡ِ ูˆَุงู„ู„َّู‡ِ ู„ุงَ ุฃُู†ْูِู‚ُ ุนَู„َู‰ ู…ِุณْุทَุญٍ ุดَูŠْุฆًุง ุฃَุจَุฏًุง ุจَุนْุฏَ ุงู„َّุฐِู‰ ู‚َุงู„َ ู„ِุนَุงุฆِุดَุฉَ ู…َุง ู‚َุงู„َ ، ูَุฃَู†ْุฒَู„َ ุงู„ู„َّู‡ُ ( ูˆَู„ุงَ ูŠَุฃْุชَู„ِ ุฃُูˆู„ُูˆ ุงู„ْูَุถْู„ِ ู…ِู†ْูƒُู…ْ ูˆَุงู„ุณَّุนَุฉِ ุฃَู†ْ ูŠُุคْุชُูˆุง ุฃُูˆู„ِู‰ ุงู„ْู‚ُุฑْุจَู‰ ูˆَุงู„ْู…َุณَุงูƒِูŠู†َ ูˆَุงู„ْู…ُู‡َุงุฌِุฑِูŠู†َ ูِู‰ ุณَุจِูŠู„ِ ุงู„ู„َّู‡ِ ูˆَู„ْูŠَุนْูُูˆุง ูˆَู„ْูŠَุตْูَุญُูˆุง ุฃَู„ุงَ ุชُุญِุจُّูˆู†َ ุฃَู†ْ ูŠَุบْูِุฑَ ุงู„ู„َّู‡ُ ู„َูƒُู…ْ ูˆَุงู„ู„َّู‡ُ ุบَูُูˆุฑٌ ุฑَุญِูŠู…ٌ ) ู‚َุงู„َ ุฃَุจُูˆ ุจَูƒْุฑٍ ุจَู„َู‰ ، ูˆَุงู„ู„َّู‡ِ ุฅِู†ِّู‰ ุฃُุญِุจُّ ุฃَู†ْ ูŠَุบْูِุฑَ ุงู„ู„َّู‡ُ ู„ِู‰ ، ูَุฑَุฌَุนَ ุฅِู„َู‰ ู…ِุณْุทَุญٍ ุงู„ู†َّูَู‚َุฉَ ุงู„َّุชِู‰ ูƒَุงู†َ ูŠُู†ْูِู‚ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ، ูˆَู‚َุงู„َ ูˆَุงู„ู„َّู‡ِ ู„ุงَ ุฃَู†ْุฒِุนُู‡َุง ู…ِู†ْู‡ُ ุฃَุจَุฏًุง
Artinya: "Aisyah radhiyallahu 'anha Istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ketika Allah telah menurunkan keterlepasanku (dari berita dusta yang disebarkan kaum munafik), Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu berkata tentang Misthah bin Utsatsah radhiyallahu 'anha, yang mana Misthah adalah orang yang beliau nafkahi, karena hubungan kekerabatannya dengan beliau dan karena kemiskiannya: "Demi Allah, selamanya aku tidak akan menafkahi Misthah sedikitpun, setelah apa yang ia katakan tentang Aisyah radhiyallahu 'anha", maka Allah-pun menurunkan ayat:
( ูˆَู„ุงَ ูŠَุฃْุชَู„ِ ุฃُูˆู„ُูˆ ุงู„ْูَุถْู„ِ ู…ِู†ْูƒُู…ْ ูˆَุงู„ุณَّุนَุฉِ ุฃَู†ْ ูŠُุคْุชُูˆุง ุฃُูˆู„ِู‰ ุงู„ْู‚ُุฑْุจَู‰ ูˆَุงู„ْู…َุณَุงูƒِูŠู†َ ูˆَุงู„ْู…ُู‡َุงุฌِุฑِูŠู†َ ูِู‰ ุณَุจِูŠู„ِ ุงู„ู„َّู‡ِ ูˆَู„ْูŠَุนْูُูˆุง ูˆَู„ْูŠَุตْูَุญُูˆุง ุฃَู„ุงَ ุชُุญِุจُّูˆู†َ ุฃَู†ْ ูŠَุบْูِุฑَ ุงู„ู„َّู‡ُ ู„َูƒُู…ْ ูˆَุงู„ู„َّู‡ُ ุบَูُูˆุฑٌ ุฑَุญِูŠู…ٌ )
Artinya: "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Maka Abu bakar berkata: "Tentu, demi Allah, aku menginginkan agar aku diampuni Allah Ta'ala". Maka beliau kembali memberi nafkah kepada Misthah yang dulu beliau beri nafkah. Dan beliau berkata:"Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan nafkah untuknya". HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim, karya Ibnu Katsir rahimahullah.

๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ
Ikhwafillah Rahimakumullah..
๐ŸŽค๐ŸŽค๐ŸŽค๐ŸŽค๐ŸŽค๐ŸŽค๐ŸŽค๐ŸŽค๐ŸŽค๐ŸŽค
Jadi…Abu Bakar radhiyallahu 'anhu yang awalnya ingin menghentikan membiayai Misthahradhiyallahu 'anhu, disebabkan Misthah radhiyallahu 'anha termasuk orang yang ikut berkata akan berita dusta tentang Aisyah radhiyallahu 'anha yang telah diprakarsai oleh kaum munafik, tetapi setelah melihat ganjaran pahala yang begitu besar dari Allah Ta'ala jika beliau memaafkan Misthah radhiyallahu 'anhu, maka Abu Bakar radhiyallahu 'anhu pun memilih untuk mendapatkan ganjaran tersebut, yaitu berupa ampunan dari Allah Ta'ala, daripada menyimpan dendam yang tiada habisnya. Allahu Akbar!.
Maafkanlah kesalahan saudara-saudara seiman kita, apapun kesalahannya, jangan dendam tersebut selalu menyesakkan dada kita, apakah kita tidak mau mendapatkan ampunan Allah Ta'ala. Memaafkan = Mendapat Ampunan Allah Ta'ala.

๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ
❤Memaafkan harus dibarengi dengan perasaan lapang dada.๐Ÿ’–
Kesempurnaan sikap memaafkan adalah jika dibarengi dengan perasaan lapang dada, yang menganggap seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.
Sebagian mungkin bisa memaafkan tetapi tidak bisa lapang dada, contohnya:
Si A telah memaafkan B, orang yang pernah berbuat salah kepadanya tetapi:
- si A tidak ingin lagi bertemu dengan si B,
- si A malas untuk berkumpul bersama dengan si B lagi,
- si A masih selalu mengungkit kesalahan si B,
- si A tidak mau lahgi berurusan dengan si B,
- si A tidak lagi mau menolong si B, jika si B membutuhkan pertolongan,
dan contoh-contoh yang lain masih banyak. Mungkin bisa cari sendiri.
Padahal, kalau kita perhatikan ayat-ayat suci Al Quran, maka seorang muslim diperintah untuk memaafkan dengan dibarengi lapang dada, mari kita perhatikan:
{ูˆَู„ْูŠَุนْูُูˆุง ูˆَู„ْูŠَุตْูَุญُูˆุง} [ุงู„ู†ูˆุฑ: 22]
Artinya: "…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada…". QS. An Nur: 22.
Di dalam ayat yang mulia ini terdapat pelajaran yaitu: Perintah untuk memaafkan dan lapang dada, walau apapun yang didapatkan dari orang-orang yang pernah menyakiti. Lihat Tafsir al Karim Ar Rahman fi Tafsir Al Kalam Al Mannan, karya As Sa'di rahimahullah.
{ูَุงุนْูُ ุนَู†ْู‡ُู…ْ ูˆَุงุตْูَุญْ ุฅِู†َّ ุงู„ู„َّู‡َ ูŠُุญِุจُّ ุงู„ْู…ُุญْุณِู†ِูŠู†َ} [ุงู„ู…ุงุฆุฏุฉ: 13]
Artinya: "…maka maafkanlah mereka dan lapangkanlah dada, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik". QS. Al Maidah: 13.
Ayat yang mulia ini memberi beberapa pelajaran: 
1. Sikap memaafkan yang dibarengi dengan perasaan lapang dada adalah sifatnya seorang Muhsin.
2.Seorang Muhsin keutamaannya adalah dicintai Allah Ta'ala. Dan keutamaan orang yang dicintai Allah Ta'ala adalah:
- Masuk surga
ุนَู†ْ ุฃَู†َุณِ ุจْู†ِ ู…َุงู„ِูƒٍ ุฑุถู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ู‚َุงู„َ ุฌَุงุกَ ุฑَุฌُู„ٌ ุฅِู„َู‰ ุฑَุณُูˆู„ِ ุงู„ู„َّู‡ِ -ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…- ูَู‚َุงู„َ ูŠَุง ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„َّู‡ِ ู…َุชَู‰ ุงู„ุณَّุงุนَุฉُ ู‚َุงู„َ « ูˆَู…َุง ุฃَุนْุฏَุฏْุชَ ู„ِู„ุณَّุงุนَุฉِ ». ู‚َุงู„َ ุญُุจَّ ุงู„ู„َّู‡ِ ูˆَุฑَุณُูˆู„ِู‡ِ ู‚َุงู„َ « ูَุฅِู†َّูƒَ ู…َุนَ ู…َู†ْ ุฃَุญْุจَุจْุชَ ». 
Artinya: "Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: "Seorang lelaki pernah datang kepada Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya: "Wahai Rasulullah, kapan hari kiamat?", beliau menjawab:"Apa yang telah kamu siapkan untuk hari kiamat?", lelaki itu menjawab: "Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya", Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Maka sungguh kamu kan bersama yang kamu cintai".  HR. Bukhari dan Muslim.
- Diharamkan oleh Allah Ta'ala untuk masuk neraka.
ุนู†ْ ุฃَู†َุณٍ ุฑุถู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ู‚َุงู„: ู‚َุงู„ََ ุงู„ู†َّุจِู‰ُّ -ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…- « ูˆุงู„ู„ู‡, ู„ุงَ ูŠُู„ْู‚ِู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุญَุจِูŠุจَู‡ُ ูِู‰ ุงู„ู†َّุงุฑِ»
Artinya: "Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: "Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallambersabda: "Demi Allah, tidak akan Allah melemparkan orang yang dicintai-Nya ke dalam Neraka".HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 2047.
- Dicintai oleh seluruh malaikat 'alaihimussalam dan diterima oleh penduduk bumi:
ุนَู†ْ ุฃَุจِู‰ ู‡ُุฑَูŠْุฑَุฉَ - ุฑุถู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ - ู‚َุงู„َ ู‚َุงู„َ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„َّู‡ِ - ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… - « ุฅِู†َّ ุงู„ู„َّู‡َ ุชَุจَุงุฑَูƒَ ูˆَุชَุนَุงู„َู‰ ุฅِุฐَุง ุฃَุญَุจَّ ุนَุจْุฏًุง ู†َุงุฏَู‰ ุฌِุจْุฑِูŠู„َ ุฅِู†َّ ุงู„ู„َّู‡َ ู‚َุฏْ ุฃَุญَุจَّ ูُู„ุงَู†ًุง ูَุฃَุญِุจَّู‡ُ ูَูŠُุญِุจُّู‡ُ ุฌِุจْุฑِูŠู„ُ ، ุซُู…َّ ูŠُู†َุงุฏِู‰ ุฌِุจْุฑِูŠู„ُ ูِู‰ ุงู„ุณَّู…َุงุกِ ุฅِู†َّ ุงู„ู„َّู‡َ ู‚َุฏْ ุฃَุญَุจَّ ูُู„ุงَู†ًุง ูَุฃَุญِุจُّูˆู‡ُ ، ูَูŠُุญِุจُّู‡ُ ุฃَู‡ْู„ُ ุงู„ุณَّู…َุงุกِ ูˆَูŠُูˆุถَุนُ ู„َู‡ُ ุงู„ْู‚َุจُูˆู„ُ ูِู‰ ุฃَู‡ْู„ِ ุงู„ุฃَุฑْุถِ »

Artinya: "Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:"Jika Allah Tabaraka wa Ta'ala mencintai seorang hamba, maka Allah Ta'ala memanggil Jibril : "Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan maka cintailah fulan", maka Jibril pun mencintainya, kemudian Jibril menyeru di langit: "Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan maka cintailah kalian fulan", maka  penduduk langitpun mencintainya dan diletakkan baginya penerimaan di tengah-tengah penduduk bumi". HR. Bukhari.

๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ๐ŸŒฑ
Keberhasilan meraih kemampuan pengendalikan diri dan keberhasilan menghidupkan kondisi ruhiyah ini insya Allah akan menimbulkan hal yang paling positif dalam kehidupan kita yaitu munculnya rasa tanggung jawab; tanggung jawab secara pribadi atau rumah tangga; atau dalam berjama’ah, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan dalam pergaulan antar bangsa, antar umat, antar negara, antar komunitas. Dari rasa tanggung jawab inilah akan muncul rasa empati pada penderitaan dan kesulitan yang dialami sesama saudara di tengah-tengah umat, atau di tengah-tengah bangsa ini, atau sesama umat dalam kehidupan di dunia ini.
Kita sebagai  jama'ah dakwah yang membawa misi Islam rahmatan lil ‘alamin, tidak mungkin bisa melaksanakan misi tersebut, kalau kita tidak memiliki rasa tanggung jawab. Islam dan umatnya menuntut kader-kader dakwah untuk tampil dengan penuh rasa tanggung jawab memperjuangkan kepentingan, nasib, dan kejayaan Islam wal muslimin.
Rasa tanggung jawab itulah yang seharusnya mampu kita tampilkan di tengah-tengah musyarakah ijtimai’yah kita, yaitu dengan menjadi anggota masyarakat yang paling merasa bertanggung jawab atas qodhoyah ummat (problema umat), atas situasi kondisi kehidupan yang ada di lingkungan kita, lingkungan bertetangga, lingkungan bermasyarakat, lingkungan bernegara dan lingkungan pergaulan antar bangsa, bahkan dalam ruang lingkup yang sempit sekali pun.
wallahu'alam bi showab..



๐Ÿ” Tanya Jawab ๐Ÿ”
▶ Tanya :
☝๐Ÿฟmohon tanya...
Disebutkan di atas memaafkan yg blm salimatusshadar... bgm jk sdh memaafkan tp jk di sebut namax, dan ada berkaitan dg org tsb jd tetingat kmbli... dan jk berhub lg takut krn ada kslhn lg... apkh hal tsb ttp d sebut blm salimatusshadr ?? Jd sprti phobia.
◀ Jawab :
Saat teringat masalalu tentang kesalahan seseorang, coba perhatikan lagi hatinya apakah ada terbersit perasaan tidak suka, benci atau tidak Ridho walaupun sedikit? Jika Ya, maka belum Salamatusshadr.
Jika tidak ada rasa tersebut, maka kita telah berlapang dada, krna mengingat itu adalah fitrahnya manusia. Tinggal apakah ada perasaan tidak suka muncul atau tidak.
▶ Tanya:
Bermaaf - maafan harus 2 arah.bagaimana sikap kita jika kita udh tidak masalah dgn orang tersebut krn udh maaf,to dianya masih tidak mau senyum atau menyapa kita.klau disapa dia buang muka.itu bagaimana ustadz?
◀ Jawab :
Keutamaan yang Allah sediakan adalah untuk mereka yang memaafkan (lihat surah An Nur : 22 dan Al Maidah : 13 diatas) dan kepada mereka yang meminta maaf terlebih dahulu meski bukan kesalahannya.
Jika kedua hal tersebut sudah kita lakukan atas dasar mengharap keridhoan Allah. Maka urusan apakah mereka menerima permintaan maaf tersebut menjadi urusannya dengan Allah.
Yg penting kewajiban kita setelah memaafkan itu tetap dijalankan, yaitu menjaga Silaturahim dan menjaga hak2 saudara seiman kita.
▶ Tanya :
Apakah sikap tanggung jawab atas keputusan yang diambil, kemudian menimbulkan pertentangan di dalam internal organisasi, sehingga dengan rasa sadar memutuskan mengundurkan diri, dapat pula diperkenankan?
Dalam artian, memaafkan orang lain memang iya, tapi sebagai diri pribadi..sering memaafkan diri sendiri itu sulit.
◀ Jawab :
Mengundurkan diri terkadang menjadi pisau bermata dua, bisa menyelesaikan masalah atau malah memperkeruh masalah.
Yg harus kita tanamkan adalh, ketika kita menjawab "ya" untuk suatu amanah maka kita harus siap dengan semua konsekuensi sebagai pengemban amanah dakwah. Pengunduran diri kadang sama dengan lari dari masalah dan tidak menyelesaikan apa-apa. Dan pada akhirnya justru menambah rasa bersalah pada diri pribadi.
Kalaupun harus mundur, tinggalkanlah organisasi tsb dalam kondisi baik, bukan dlm kondisi bermasalah.

Wallahu'alam bi Showab