Rabu, 20 Mei 2015

Nafsul Insan

Nafsul Insan
by: Rudifillah El Karo






الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ 
الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan meminta pertolongan, pengampunan, dan petunjuk-ya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal  kita. Barang siapa mendapat dari petunjuk Allah maka tidak akan ada yang menyesatkannya, dan barang siapa yang sesat maka tidak ada pemberi petunjuknya baginya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Ya Allah, semoga doa dan keselamatan tercurah pada Muhammad dan keluarganya, dan sahabat dan siapa saja yang mendapat petunjuk hingga hari kiamat.

Ikhwafillah Rahimakumullah..
Manusia adalah makhluk yang sempurna,insan yang Allah anugrahkan kelengkapan yang tidak dimiliki oleh mahluknya yang lainnya dengan sempurna yaitu Akal, Ruh dan Nafsu. Kelengkapan inilah yang membuat manusia memiliki drajat yang lebih tinggi dari Makhluknya yang lain.

Sebagai mahluk yang memiliki kelengkapan antara Jiwa (Ruh) dan Nafsu, manusia sesungguhnya diuji Allah agar mampu mengendalikan keduanya, agar terus tunduk dan mampu menghambakan diri kepada Allah. Sebagai mahluk ciptaan Allah SWT, setiap manusia jiwanya diberi dua jalan, yaitu jalan takwa dan fujur (kesesatan). Kita diberi kebebasan untuk memilih yang baik atau yang buruk.

"Jiwa manusia adalah pangkal kendali baik buruk  manusia secara keseluruhan. Allah telah mengilhamkan (memberikan kebebasan memilih) kepada jiwa manusia itu fujur atau taqwa" (QS. 91: 7 - 10).

Pilihan itu sangat potensial bersaing untuk mendominasi jiwa manusia, bahkan bisa terjadi konflik berkepanjangan diantara keduanya.  Yang berkepentingan pada kedua pilihan tersebut adalah nafsu (al hawa) dan ruh ( ar ruh). Nafsu cendrung untuk fujur, dan ruh cendrung untuk takwa.

Dilihat dari dominasi ruh dan nafsu itu terhadap diri manusia, maka jiwa manusia itu dapat kita bedakan menjadi tiga keadaan sebagai berikut:

1. Dominasi ruh lebih kuat dari pada hawa nafsu.
Pada kondisi ini manusia akan berorientasi atau punya kecendrungan untuk selalu berzikir di setiap keadaan dalam rangka mengontrol diri, sehingga jiwa pun selalu merasakan ketenangan untuk selalu berbuat yang terbaik. Jiwa - jiwa yang seperti ini di dalam alquran disebut dengan istilah nafsul muthma'innah.

2. Dominasi ruh dan hawa nafsu seimbang.
Pada kondisi ini akallah yang paling berperan dan akan terjadi konflik batin yang keras antara keinginan beramal saleh dengan kecendrungan untuk berbuat maksiat, penuh kebimbangan. (pelaksanaannya fifty-fifty). Jiwa - jiwa seperti ini di dalam al Qur'an disebut dengan  nafsul lawwamah atau nafsu yang selalu menyesali diri.

3. Hawa nafsu lebih dominan dibandingkan ruh.
Pada kondisi ini manusia akan dikuasai oleh syahwatnya (keinginan untuk bersenang-senang), dan berikutnya jiwa akan selalu menyuruh untuk melakukan hal-hal buruk (maksiat). Kondisi jiwa seperti ini dinamakan alQur'an sebagai nafsul amaratu bis su' yaitu nafsu yang selalu menyuruh pada keburukan.

"Apakah engkau tidak perhatikan orang yang telah menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya. Apakah engkau akan dapat menjadi pelindungnya. Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memehami? Mereka itu hanyalah seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi." Qs. Al Furqan: 43-44)

Jika Nafsu mulai menguasai manusia,dia akan menjadi lebih rendah dari binatang ternak. Kenapa binatang ternak??
Karena binatang ternak lebih rendah dari binatang liar karena mereka menjadi pemalas, makanan sudah disiapkan tuannya atau sudah diarahkan ke lokasi yang banyak makanannya. Beda dengan binatang liar yang harus berjuang bertahan hidup dan mencari makan.

Seburuk itulah perumpamaan yang Allah berikan untuk manusia yang dikendalikan hawa Nafsunya, mereka jatuh kemuliaannya dihadapan Allah. Bukan sebagai mahluk terbaik lagi.

Mengobati hati dari dominasi Nafsu.

Imam Ibnul Qoyim, dalam karyanya Ighatsatul Lahafan (1/16 – 17) menjelaskan bahwa ada 3 teori pokok untuk mengobati sesuatu yang sakit. Teori ini juga digunakan dalam ilmu medis.

Dalam dunia medis, ketika seorang dokter hendak mengobati pasien, dia akan memberlakukan 3 hal:

Pertama, menjaga kekuatan. Ketika mengobati pasien, dokter akan menyarankan agar pasien banyak makan yang bergizi, banyak istirahat, tenangkan pikiran, tidak lupa, sang dokter juga memberikan multivitamin. Semua ini dilakukan dalam rangka menjaga kekuatan fisik pasien.

Ibnul Qoyim menjelaskan, orang yang sakit hati, salah satu upaya yang harus dia lakukan adalah menjaga kekuatan mentalnya, dengan ilmu yang bermanfaat dan melakukan berbagai ketaatan. Hatinya harus dipaksa untuk mendengarkan nasehat dan ilmu yang bersumber dari Al-Quran dan sunah, serta fisiknya dipaksa untuk melakukan ibadah dan ketaatan. Karena ilmu dan amal, merupakan nutrisi bagi hati manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis riwayat Bukhari, memisalkan ilmu sebagaimana hujan dan hati manusia sebagaimana tanah. Karena hati senantiasa butuh nutrisi berupa ilmu.

Kedua, melindungi pasien dari munculnya penyakit yang baru atau sesuatu yang bisa memparah sakitnya.

Dalam mengobati pasien, tahapan lain yang dilakukan dokter adalah menyarankan pasien untuk menghindari berbagai pantangan sesuai jenis penyakit yang diderita pasien.

Hal yang sama juga berlaku untuk penyakit hati. Seperti yang dijelaskan Ibnul Qoyim, orang yang sakit harus menghindari segala yang bisa memperparah panyakit dalam hatinya, yaitu dengan menjauhi semua perbuatan dosa dan maksiat. Dia hindarkan dirinya dari segala bentuk penyimpangan. Karena dosa dan maksiat adalah sumber penyakit bagi hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan bagaimana bahaya dosa bagi hati manusia,

إِنَّ العَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ» {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}

Sesungguhnya seorang hamba, apabila melakukan perbuatan maksiat maka akan dititikkan dalam hatinya satu titik hitam. Jika dia meninggalkan maksiat itu, memohon ampun dan bertaubat, hatinya akan dibersihakn. Namun jika dia kembali maksiat, akan ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar-raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.’ (HR. Turmudzi, Ibnu Majah dan sanadnya dinilai kuat oleh Syuaib Al-Arnauth).

Ketiga, menghilangkan penyakit yang ada dalam dirinya

Tahapan terakhir, setelah dokter memastikan jenis penyakit yang diderita pasien, dokter akan memberikan obat untuk menyerang penyakit itu. Dokter akan memberinkan antibiotik dengan dosis yang sesuai, atau obat lainnya yang sesuai dengan penyakit pasien.

Di bagian akhir keterangannya untuk pembahasan ini, Ibnul Qoyim menjelaskan bahwa cara untuk menghilangkan penyakit yang merusak hati adalah dengan banyak bertaubat, beristighfar, memohon ampunan kepada Allah. Jika kesalahan itu harus ditutupi dengan membayar kaffarah maka dia siap membayarnya. Jika terkait dengan hak orang lain, diapun siap dengan meminta maaf kepadanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan,

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ، كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

Orang yang bertaubat dari satu perbuatan dosa, seperti orang yang tidak melakukan dosa itu. (HR. Ibn Majah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar