Malam minggu biasanya menjadi malam yang paling baik untuk istirahat lebih awal. Sepulang sholat isya lebih baik mengurung diri dalam kamar, bermunajah pada Allah kemudian tidur. Inilah kegiatan rutin bagi ikwan yang masih lajang daripada menghabiskan waktu dengan kegiatan-kegiatan yang syubhat dan maksiat seperti hamba Allah lain yang mungkin belum tersentuh hidayah.
Namun malam itu
menjadi berbeda kerena mata ini tidak dapat terpejam, padahal biasanya baca
buku menjadi obat pelelap yang paling mujarab. Ada yang ,mederu didalam dada,
menyesakkan seakan ingin meledak. Haru, sedih, cinta dan bahagia melebur
menjadi satu paduan yang tak terlukiskan. Buku yang masih terbuka di pangkuan
menjadi penyebabnya. Huruf demi huruf berlanjut menjadi kalimat ibarat samudra
bermakna, saya telusuri menjadikan hati merantau jauh menembus dimensi waktu
yang telah belasan abad berlalu. Saya ingin membaginya dengan antum. Mudah
-mudahan bermanfaat.
- - - 000 - - -
Madinah
Al-munawarah, pada dini hari. Membran malam perlahan tersingkap, berganti
dengan subuh syahdu. Lengang berpulun dengan udara dingin menggigit. Dan deru
sahara hanya terdengar dari jauh. Cerlang fajar sebentar lagi nampak. Shalat
subuh hampir tiba, Rasulullah Saw dan para sahabat menyemut pada satu tempat,
masjid. Semua hendak bertemu dengan yang di cinta, Allah. Namun sayang, air
untuk berwudhu tidak setetes pun tersedia. Tempat mengambil air seperti
biasanya kini kerontang.
Dan para sahabat pun terdiam,
bahkan ada beberapa yang menyesali kenapa tidak mencari air terlebih dahulu
untuk keperluan kekasih Allah itu berwudhu. Rasululllah pun bertanya kepada
para sahabat "Adakah diantara kalian membawa kantung untuk menyimpan
air?". Berebut para sahabat mengangsurkan kantung air yang dimilikinya.
Lalu, Nabi yang begitu mereka cintai itu meletakkan tangannya diatasnya. Tidak
seberapa lama, jemari manusia pilihan itu memancarkan air yang bening.
"Hai Bilal, panggil mereka untuk berwudhu" sabda nabi kepada Bilal.
Dan para sahabat
pun tak sabar merengkuh aliran air dari jemari sang Nabi. Di basuhnya semua
anggota wudhu, ada banyak gumpalan keharuan dan pesona yang menyeruak. Bahkan
Ibnu mas'ud mereguk air tersebut sepenuh cinta.
Shalat subuh pun
berlangsung sendu, suara nabi mengalun begitu merdu. Ada banyak telinga yang
terbuai, hati yang mendesis menahan rindu. Selesai memimpin shalat, nabi duduk
menghadap para sahabat. Semua mata memandang pada satu titik yang sama, Purnama
Madinah. Dan di sana, duduk sesosok cinta bersiap memberikan hikmah, seperti
biasanya.
"Wahai
manusia, Aku ingin bertanya, siapakah yang paling mempesona imannya?"
Al-Musthafa memulai majelisnya dengan pertanyaan.
"Malaikat
ya Rasul Allah" hampir semua menjawab.
Dan nabi
memandang lekat wajah para sahabat satu persatu. Janggut para sahabat masih
terlihat basah. "Bagaimana mungkin, malaikat tidak beriman sedangkan
mereka adalah pelaksana perintah Allah."
"Para Nabi,
ya Rasul Allah" jawab sahabat serentak.
"Dan
bagaimana para Nabi tidak beriman, jika wahyu dari langit langsung turun untuk mereka".
"Kalau
begitu, sahabat-sahabat engkau, wahai Rasulullah" pada saat menjawab ini
banyak dari sahabat yang mengucapkannya malu-malu.
"Tentu saja
para sahabat beriman kepada Allah, karena mereka menyaksikan apa yang mereka
saksikan".
Selanjutnya
mesjid hening. Semua bersiap dengan lanjutan sabda nabi yang mulia. Semua
menunggu, sama seperti sebelumnya pesona sosok yang duduk ditengah-tengah
mereka mampu menarik semua pandangan laksana magnet berkekuatan maha. Dan suara
kekasih Allah itu kembali terdengar. "Yang paling mempesona imannya adalah
kaum yang datang jauh sesudah kalian. Mereka beriman kepadaku, meski tak pernah
satu jeda mereka memandang aku. Mereka membenarkan ku sama seperti kalian,
padahal tak sedetikpun mereka pernah melihat sosok ini. Mereka hanya menemukan
tulisan, dan mereka tanpa ragu mengimaninya dengan mengamalkan perintah dalam
tulisan itu. Mereka membelaku sama seperti kalian gigih berjuang demi aku.
Alangkah inginnya aku berjumpa dengan para ikhwanku itu".
Semua terpekur
mendengar sabda tersebut. Kepada mereka nabi memanggil sapaan sahabat, sedang
kepada kaum yang akan datang, nabi merinduinya dengan sebutan
"Saudaraku". Alangkah bahagia bisa dirindui nabi sedemikian indah,
benak para sahabat terliputi hal ini.
Dan terakhir
nabi, mengumandangkan QS Al Baqarah ayat 3: "Mereka yang beriman kepada
yang ghaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian dari apa yang kami
berikan kepada mereka".
- - - 000 - - -
Saudaraku
sungguh tiada yang lebih indah daripada dirindukan oleh Rasullulah. Betapa
istimewanya jika disebut Rasullulah sebagai saudara. Keindahan yang tak
terlukiskan dengan lantunan syair puisi, pesona beningnya mutira atau indahnya
pelangi senja.
Namun hati
ini tekadang lalai merengkuh cintanya hanya karena keindahan dunia dan isinya,
bercengkrama dengan keluaraga, istri atau buah hati. Wajah jiwa ini kadang
terlalu buruk untuk menyebut diri sebagai saudaranya, hati ini terlalu rendah
menyebut diri sebagai ummatnya, amalan ini terlalu buruk untuk menyebut diri
sebagai pembelamu.
Maafkan kami
ya Musthafa, biarlah Kristal-kristal ini jatuh, biarlah darah ini kering
menetes, dan biarlah tubuh ini kering membeku. Tapi jangan biarkan kecintaanmu
terkecuali untuk kami. Ya Habibillah, kadang lidah kotor ini bershalawat padamu
tanpa makna dan tanpa ketulusan, sedang hati kami rindu pada syafa’atmu.
Ya
Rasulullah, betapapun hati ini kering dan kelu untuk menyebut diri sebagai
ummatmu, izinkalah kami mengucap:
Shallaallaahu ala muhammad, shallalhu alaihi wasallam...
Salam bagimu ya Rasulullah,..
Kami cinta dan rindu padamu,..
(Rudyfillah el Karo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar