Senin, 13 Oktober 2014

Yang paling Mempesona Imannya.




Malam minggu biasanya menjadi malam yang paling baik untuk istirahat lebih awal. Sepulang sholat isya lebih baik mengurung diri dalam kamar, bermunajah pada Allah kemudian tidur. Inilah kegiatan rutin bagi ikwan yang masih lajang daripada menghabiskan waktu dengan kegiatan-kegiatan yang syubhat dan maksiat seperti hamba Allah lain yang mungkin belum tersentuh hidayah.
Namun malam itu menjadi berbeda kerena mata ini tidak dapat terpejam, padahal biasanya baca buku menjadi obat pelelap yang paling mujarab. Ada yang ,mederu didalam dada, menyesakkan seakan ingin meledak. Haru, sedih, cinta dan bahagia melebur menjadi satu paduan yang tak terlukiskan. Buku yang masih terbuka di pangkuan menjadi penyebabnya. Huruf demi huruf berlanjut menjadi kalimat ibarat samudra bermakna, saya telusuri menjadikan hati merantau jauh menembus dimensi waktu yang telah belasan abad berlalu. Saya ingin membaginya dengan antum. Mudah -mudahan bermanfaat.

- - - 000 - - -

Madinah Al-munawarah, pada dini hari. Membran malam perlahan tersingkap, berganti dengan subuh syahdu. Lengang berpulun dengan udara dingin menggigit. Dan deru sahara hanya terdengar dari jauh. Cerlang fajar sebentar lagi nampak. Shalat subuh hampir tiba, Rasulullah Saw dan para sahabat menyemut pada satu tempat, masjid. Semua hendak bertemu dengan yang di cinta, Allah. Namun sayang, air untuk berwudhu tidak setetes pun tersedia. Tempat mengambil air seperti biasanya kini kerontang.
Dan para sahabat pun terdiam, bahkan ada beberapa yang menyesali kenapa tidak mencari air terlebih dahulu untuk keperluan kekasih Allah itu berwudhu. Rasululllah pun bertanya kepada para sahabat "Adakah diantara kalian membawa kantung untuk menyimpan air?". Berebut para sahabat mengangsurkan kantung air yang dimilikinya. Lalu, Nabi yang begitu mereka cintai itu meletakkan tangannya diatasnya. Tidak seberapa lama, jemari manusia pilihan itu memancarkan air yang bening. "Hai Bilal, panggil mereka untuk berwudhu" sabda nabi kepada Bilal.
Dan para sahabat pun tak sabar merengkuh aliran air dari jemari sang Nabi. Di basuhnya semua anggota wudhu, ada banyak gumpalan keharuan dan pesona yang menyeruak. Bahkan Ibnu mas'ud mereguk air tersebut sepenuh cinta.
Shalat subuh pun berlangsung sendu, suara nabi mengalun begitu merdu. Ada banyak telinga yang terbuai, hati yang mendesis menahan rindu. Selesai memimpin shalat, nabi duduk menghadap para sahabat. Semua mata memandang pada satu titik yang sama, Purnama Madinah. Dan di sana, duduk sesosok cinta bersiap memberikan hikmah, seperti biasanya.
"Wahai manusia, Aku ingin bertanya, siapakah yang paling mempesona imannya?" Al-Musthafa memulai majelisnya dengan pertanyaan.
"Malaikat ya Rasul Allah" hampir semua menjawab.
Dan nabi memandang lekat wajah para sahabat satu persatu. Janggut para sahabat masih terlihat basah. "Bagaimana mungkin, malaikat tidak beriman sedangkan mereka adalah pelaksana perintah Allah."
"Para Nabi, ya Rasul Allah" jawab sahabat serentak.
"Dan bagaimana para Nabi tidak beriman, jika wahyu dari langit langsung turun untuk mereka".
"Kalau begitu, sahabat-sahabat engkau, wahai Rasulullah" pada saat menjawab ini banyak dari sahabat yang mengucapkannya malu-malu.
"Tentu saja para sahabat beriman kepada Allah, karena mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan".
Selanjutnya mesjid hening. Semua bersiap dengan lanjutan sabda nabi yang mulia. Semua menunggu, sama seperti sebelumnya pesona sosok yang duduk ditengah-tengah mereka mampu menarik semua pandangan laksana magnet berkekuatan maha. Dan suara kekasih Allah itu kembali terdengar. "Yang paling mempesona imannya adalah kaum yang datang jauh sesudah kalian. Mereka beriman kepadaku, meski tak pernah satu jeda mereka memandang aku. Mereka membenarkan ku sama seperti kalian, padahal tak sedetikpun mereka pernah melihat sosok ini. Mereka hanya menemukan tulisan, dan mereka tanpa ragu mengimaninya dengan mengamalkan perintah dalam tulisan itu. Mereka membelaku sama seperti kalian gigih berjuang demi aku. Alangkah inginnya aku berjumpa dengan para ikhwanku itu".
Semua terpekur mendengar sabda tersebut. Kepada mereka nabi memanggil sapaan sahabat, sedang kepada kaum yang akan datang, nabi merinduinya dengan sebutan "Saudaraku". Alangkah bahagia bisa dirindui nabi sedemikian indah, benak para sahabat terliputi hal ini.
Dan terakhir nabi, mengumandangkan QS Al Baqarah ayat 3: "Mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian dari apa yang kami berikan kepada mereka".
- - - 000 - - -
            Saudaraku sungguh tiada yang lebih indah daripada dirindukan oleh Rasullulah. Betapa istimewanya jika disebut Rasullulah sebagai saudara. Keindahan yang tak terlukiskan dengan lantunan syair puisi, pesona beningnya mutira atau indahnya pelangi senja.
            Namun hati ini tekadang lalai merengkuh cintanya hanya karena keindahan dunia dan isinya, bercengkrama dengan keluaraga, istri atau buah hati. Wajah jiwa ini kadang terlalu buruk untuk menyebut diri sebagai saudaranya, hati ini terlalu rendah menyebut diri sebagai ummatnya, amalan ini terlalu buruk untuk menyebut diri sebagai pembelamu.
            Maafkan kami ya Musthafa, biarlah Kristal-kristal ini jatuh, biarlah darah ini kering menetes, dan biarlah tubuh ini kering membeku. Tapi jangan biarkan kecintaanmu terkecuali untuk kami. Ya Habibillah, kadang lidah kotor ini bershalawat padamu tanpa makna dan tanpa ketulusan, sedang hati kami rindu pada syafa’atmu.
            Ya Rasulullah, betapapun hati ini kering dan kelu untuk menyebut diri sebagai ummatmu, izinkalah kami mengucap:
Shallaallaahu ala muhammad, shallalhu alaihi wasallam...
Salam bagimu ya Rasulullah,..
Kami cinta dan rindu padamu,..

(Rudyfillah el Karo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar