Senin, 14 Desember 2015

Memahami Hakikat Pernikahan

Memahami Hakikat Pernikahan
Rudyfillah el Karo



Ikhwafillah rahimakumullah, Sesungguhnya pernikahan bisa menjadi penolong bagi agama kita, penghancur syaithan atau menjadi benteng kokoh untuk penahan musuh-musuh allah. Penikahan adalah jalan yang sempurna untuk membangun generasi yang akan membangun kembali kejayaan Islam, melahirkan pejuang-pejuang yang akan senantiasa menjaga Agama ini. Penikahan juga jalan untuk memperbanyak keturunan yang bisa menjadi kebangaan Rasulullah Muhammad SAW kelak.

“Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak. Karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian (sebagai umatku).” (HR. an-Nasa`i dan Abu Dawud)

Allah berfirman :
وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32).

Dalam Ayat lain Allah juga menjelaskan :
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari akhir. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah :232) 

Ini adalah larangan keras dari Allah untuk melakukan 'adhal yaitu menghalangi wanita menikah dengan orang yang dicintainya tanpa alasan yang syar'i. Ini membuktikan bahwa Allah juga memuliakan perasaan cinta yang muncul terhadap lawan jenis, asalkan itu dilakukan melalui jalan yang diridoi Allah, bukan cinta dengan metode yang Allah haramkan.

Islam adalah agama yang menganjurkan pernikahan, tanpa menafikan perasaan suka dan cinta. Seperti yang Allah firmankan "Maka kawinilah wanita-wanita yang engkau senangi" (QS An-Nisa : 3). Bahkan Imam Bukhari dalah kitab Shahihnya menyusun satu Bab khusus tentang pernikahan dengan judul Bab : "At-Taghrib fi An-Nikah" (Anjuran untuk menikah)

Akad Nikah di dalam Islam tidaklah seperti akad-akad biasa. Al-Quran mengungkapkan pernikahan ini dengan tiga sebutan. Pernikahan adalah âyat (tanda kekuasaan Allah) sekaligus 'uqdah (simpul ikatan) dan juga mîtsâqun ghalîzh (janji yang berat).

Akad Nikah dalam Islam adalah ayat (tanda-tanda kekuasaan Allah Swt.).

Al-Quran banyak berbicara tentang ayat-ayat kekuasaan Allah Swt., dan seringkali kemudian diawali atau diakhiri dengan puji-pujian kepada Allah Swt..

Hal ini mengisyaratkan bahwa Al-Quran mengajarkan kita untuk selalu mensyukuri ayat-ayat Allah itu dengan banyak beribadah dan melantunkan puji-pujian kepada-Nya. Karena semua itu adalah nikmat Allah bagi kita. Di dalam surat Ar-Rûm disebutkan bahwa Nikah adalah salah satu ayat Allah Swt.. Ayat, karena Allah menciptakan mahluk secara berpasang-pasangan. Ayat, karena Allah telah meletakkan kedamaian, cinta dan kasih sayang di antara pasangan suami dan isteri, dan ayat ini tentunya harus disyukuri karena merupakan nikmat yang sangat agung.

Akad dalam adalah bahasa Arab berarti ikatan janji. Di dalam Islam janji adalah sesuatu yang wajib ditepati, sebagaimana perintah Allah Swt. dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 1, "Wahai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janjimu." Setiap ikatan janji tentunya akan melahirkan hak-hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak yang berjanji. Akad juga berarti mengikat atau menyimpulkan. Maka laki-laki dan perempuan yang melakukan akad nikah berarti keduanya telah mengikat simpul ikatan hidup bersama. Ikatan kebersamaan yang harmoni dan langgeng. Ikatan hubungan yang akan diteruskan kelak di surga Allah Swt..

Di dalam Al-Quran Allah Swt. menyatakan Akad Nikah dengan sebutan mîtsâqun ghalîzh (janji yang berat). Padahal kata mîtsâqun ghalîz ini sendiri di dalam Al-Quran disebutkan hanya tiga kali. 

Pertama, untuk akad pernikahan (An-Nisâ: 21).

Kedua, perjanjian antara para nabi dengan Tuhan mereka, untuk menyampaikan risalah Allah, seperti yang difirmankan Allah dalam surat Al-Ahzâb ayat tujuh. Kemudian dalam ayat kedelapan Allah menjelaskan bahwa janji ini adalah untuk menguji siapa yang sungguh-sungguh dalam menepatinya. 

Ketiga, janji Bani Israil terhadap Allah Swt. untuk mengemban risalah tauhid di atas dunia. Janji yang karenanya Allah mengangkat gunung untuk ditimpakan di atas kepala Bani Israil sebagai ancaman bagi mereka yang tidak mau menepati janji. Namun mereka kemudian tidak menepati janji, sehingga mendapatkan laknat dari Allah Swt..

Pernyataan bahwa akad nikah adalah mîtsâqun ghalîzh, tentunya mengisyaratkan bahwa hubungan suami isteri yang merupakan hubungan yang berkonsekuensi besar seperti konsekuensi janji para nabi dan bani Israel di atas. Siapa saja yang menepati janji itu, maka dia tergolong orang yang jujur dan benar serta berada dalam jalan yang lurus. Sedangkan siapa yang tidak menepatinya, dalam arti tidak menjalan hak dan kewajiban yang merupakan kosekuensi dari akad tersebut, maka ia pantas mendapatkan laknat Allah Swt..

Bahwa suami memiliki hak terhadap isterinya, dan hak-hak suami adalah kewajiaban bagi isteri, maka isteri harus mengetahui apa saja hak-hak suami terhadapnya. Di antara hak yang paling dibutuhkan oleh suami dari isterinya adalah, sikap menghormati dan mengakui kebaikan suami.


Bahwa isteri sebagai patner hidup suami juga memiliki hak-hak yang menjadi kewajiban bagi suami. Sebagai suami ia harus mengetahui dengan baik hak-hak isterinya. Ia harus memahami untuk apa ia menikah. Ia harus mengetahui kekhususan dan fitrah yang Allah ciptakan bagi perempuan yang banyak berpengaruh terhadap sikap dan tindakannya, sehingga dengan demikian seorang sang suami dapat berlapang dada dan mengerti bagaimana harus bersikap terhadap isterinya, tidak gegabah dalam bertindak. Sebagai suami ia harus mengetahui kriteria suami sukses dan kriteria suami yang gagal. Sebagai suami yang mencintai isteri, ia harus menghormati dan tidak merendahkan isterinya.

Wasiat umum bagi suami dan isteri untuk mewujudkan keharmonisan hubungan di antara mereka. Saling menghormati, ciptakanlah kata-kata indah untuk mengungkapkan cinta, berterimakasih dan pujilah ia, tanyakan kepadanya apa yang ia sukai, kapan harus berlomba dengannya, senyumlah selalu kepadanya, maksimalkan perhatian dan perawatan ketika ia sakit, siapkan untuknya kejutan cinta, engaku adalah pakaian untuknya. Dengan memperhatikan keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan isteri, insya Allah bahtera rumah tangga akan dipenuhi cinta, kasih sayang, berkah dan Ridha Allah Swt.

Wallahu'alam bi showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar